Senin, 19 September 2016

16 BABI HUTAN MENYERANG KAMPUNGKU



 16 BABI HUTAN MENYERANG KAMPUNGKU
Pagi hari Selasa, tahun 1984, sekawanan celeng atau babi hutan yang berjumlah 16 ekor masuk kampung dan menyerang penduduk. Pagi menjelang siang biasanya celeng –celeng  itu harus pulang kesarangnya atau   tempat dimana mereka gunakan untuk beristirahat dan bersembunyi dari keramaian setelah semalaman  menghabiskan waktunya untuk mencari makan karena babi adalah binatang nokturnal yang mencari makan di malam hari.

Tapi rupanya hari itu hari yang berbeda cerita. Di pinggir kali Logawa mereka tersesat jalan, lupa kemana arah yang dituju untuk pulang. Sampai akhirnya, mereka memilih untuk menyeberang kali. Mereka juga lupa bahwa diseberang kali adalah desa tempat tinggal penduduk.

Menyebranglah babi -babi hutan itu dan masuk kebun perbatasan desa. Terkejut melihat banyak orang berlalu lalang. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang- orang yang melihat pemandangan yang tak biasa itu. Teriakan dan jeritan penduduk  membuat mereka panik. Dari sinilah awal dari kisah ini.

Bagi penduduk desa yang mayoritas petani, babi hutan atau celeng adalah hama bagi tanaman mereka. Sebagai hama mereka tak segan-segan menggasak habis tanaman mereka hingga tak tersisa. Oleh karena itu munculnya babi-babi hutan atau celeng-celeng itu harus dibasmi. Mereka adalah momok yang keberadaanya sungguh-sungguh tak diinginkan.

Oleh karena itu berkumpulah semua masyarakat untuk memburu binatang liar yang sedang terjebak itu. Binatang-binatang itu telah menyeberang kali Logawa yang tak mudah untuk mereka bisa kembali.

Binatang celeng sebetulnya binatang yang mempunyai sifat pemalu dan dia akan memilih lari menjauh sa'at bertemu dengan manusia. Tapi disisi yang lain jika binatang ini terusik, tersudut, apa lagi sampai dilukai maka dia akan menjadi beringas dan menyerang siapa saja yang dijumpainya. Itulah yang terjadi dalam peristiwa ini. Konflik sudah tak bisa dihindarkan. Kemarahan manusia telah membuat mereka pada opsi yang kedua. Babi-babi hutan itu benar-benar memilih untuk menyerang.

Sobari yang pertama menghadapinya. Satu babi hutan menyeruduk dengan taringnya yang panjang melewati ukuran mulutnnya. Sobari menangkis dengan tangannya, lalu tubuhnya, dan.....Sobari terjungkal. Perut sebelah kiri tertusuk taring, Sobari mengaduh, Toloooong ..! tapi, sebelum seseorang berhasil menolongnya srudukan kedua sudah dilakukan oleh binatang nekat itu, Sobari terkapar dan hanya terkapar meski terus berusaha untuk bangkit.

Sampai datanglah Mahmud. Mahmud yang pernah belajar ilmu konto dan juga petugas keamanan kampung mengambil alih kendali. Tapi yang ia lakukan justru  menari menggoyang goyangkan pinggul, orang yang melihat ketawa, ternyata itu bukan melucu ,tapi sebuah trik untuk mengalihkan perhatian babi hutan dari Sobari. Kini perhatian binatang itupun beralih ke Mahmud dan langsung saja beraksi dengan aksi khasnya yaitu menyeruduk mengancam Mahmud. Tapi, Mahmud berhasil mengelesnya dengan meloncat kepohon dan menempel disana seperti monyet. Trik yang  berhasil, karena babi ternyata tidak bisa memanjat pohon dan yang terpenting dia tidak bisa membelokan tubuhnya, akhirnya binatang itupun menabrak pohon. Sementara Mahmud meneruskan pergumulannya, kesempatan itu digunakan orang lain untuk  menolong Sobari yang sudah mati lemas dengan tulang dan badan yang sudah remuk.


Tak jauh dari tempat itu, Miarso sedang bersiul menghadapi sesuatu yang jarang dilihatnya, bibirnya sesekali  komat kamit tak tahu apa yang dibaca. Ternyata yang sedang ia hadapi adalah baby celeng alias anak babi hutan yang terpisah dari induknya. Miarso tak ingin melukainya. Ia ingin menangkap hidp- hidup dan menjadikannya binatang pelihara'an dirumah. Karena masih kanak –kanak, Miarso pun berhasil memikatnya tanpa kesulitan .

Pertempuran terus berlangsung, pertikaian terjadi dimana mana, hampir semua sudut kampung dari yang hanya kejar- mengejar sampai yang berkelahi.

Tapi  tak berarti semua dalam bentuk  ketegangan. Mereka bahkan ada yang sambil ketawa ngakak tak ubah nya sedang bermain petak umpet atau sedang bermain matador dengan banteng celeng, di bagian itu, hari itu adalah hari yang menyenangkan.

Lain dengan Sadem. Satu- satunya perempuan yang harus ikut terlibat dalam peristiwa itu. Hari itu ia sedang menanam padi ( Jawa : tandur), karena lokasi dia bekerja adalah lokasi tempat kejadian, iapun tak luput dari sasaran. Tapi disini keunikan justru terjadi. Sadem memang perempuan, tapi yang terjadi sungguh tak terduga. Bisa dikatakan dialah satu-satunya orang yang paling sukses dalam peristiwa itu. Melawan  ganasnya celeng yang  menakutkan. Lain dengan yang lain yang kebanyakan kaum laki laki yang melawan dengan otot kuat, tapi tidak dengan Sadem. Ia melawannya dengan otak.

Satu celeng besar dengan beringas berlari kearah Sadem. Binatang yang sudah terluka oleh sabetan parang orang sebelumnya membidik siapa saja yang ada didepannya. Tapi bidikan itu kalah cepat dengan kebringasan otak Sadem. Simpel saja. Sadem hanya perlu lebih cepat mengambil lumpur dan membidik tepat kearah wajah tepat dibagian kedua mata celeng. Plaaak.....! hanya hitungan detik celeng yang paling ganas itu berubah jadi linglung ,terhuyung -huyung tak tahu harus kemana melangkah karena sudah tak melihat jalan oleh lumpur yang menutup di kedua biji mata. Lalu dengan mudah binatang liar itu diringkus. Sadem tak terluka.

Gaduhnya hari itu, antara yang takut, yang menganggap tontonan seru dan yang terluka menyatu dalam satu suasana. Sampai semuanya berakhir dengan terbantainya 16 babi – babi hutan konyol itu.

Sore itu masih cerah, semua warga keluar , celeng – celeng yang telah dilumpuhkan itu dikumpulkan menjadi satu layaknya tontonan gratis di perempatan   dusun. Pertempuran berakhir ?

Dalam kelegaan semua orang didusun itu , datang seorang perempuan tua dengan membawa sebilah tongkat menghampiri sekumpulan bangkai- bangkai babi hutan yang sengaja dikumpulkan di satu tempat  dan menjadi tontonan warga. Perempuan tua itu meminta jalan mendekat celeng – celeng itu. Di ayunkannya tongkat lalu dipukul- pukulkannya keseekor babi yang diyakini menyerang anaknya. Rupanya perempuan tua itu adalah Biyung Diram, yang tidak lain ibu Sobari, satu dari korban penyerangan babi  - babi hutan konyol itu. Dengan sumpah serapah marah memaki-maki celeng yang sudah mati.

Mengakhiri kisah. Keesokan harinya hari begitu cerah, penduduk mulai berakhtifitas lagi seperti biasa. Tak ada lagi rasa kewatir dengan serangan babi hutan yang meresahkan.

 Dalam ketenangan suasana itu, tiba-tiba seekor  anak babi hutan melintas diantara lalu lalang orang orang. Dibelakangnya berjalan Miarso mengawal anak-anak babi itu. Ia bukan lagi tersesat dan merana. Sekarang mereka sudah punya majikan yang memeliharanya sebagai binatang piaraan yang jinak dan hidup berdampingan dengan manusia tanpa saling menyakiti.