Senin, 14 Oktober 2019

TIMUN EMAS DAN BUTA IJO (PART 2)



Timun Emas berlari sekencang-kencangnya. Dia bahkan tidak tahu kemana arah yang dituju. Tak peduli padang ilalang ia terjang. Baginya yang penting menjauh dari Buta Ijo.

Mendapati Timun Emas ternyata melarikan diri, tidak banyak pikir lagi Buta Ijo langsung mengejarnya. Melihat bayangan Timun Emas berkelebat yang ternyata sudah jauh meninggalkannya, Buta Ijo menambah kecepatan langkahnya. Baginya, Timun Emas adalah haknya dan tidak boleh seorangpun mengambilnya.

"Timun Emas, berhentilah, ikutlah bersamaku, kau adalah miliku!" teriaknya.

Alih-alih membuat gadis kecil itu luluh, teriakan Buta Ijo malah membuat Timun Emas bertambah takut. Dia tahu Buta Ijo dapat mengejar dengan langkahnya yang lebih panjang dibanding dirinya. Dia juga melihat Buta Ijo semakin dekat dibelakangnya. Rupanya dengan sekuat tenaga raksasa itu tidak mau gagal menerkam mangsanya, layaknya seekor harimau mengejar seekor kelinci disebuah hutan.

Rasa takut membuat seseorang tidak lagi berpikir dengan logika. Ia ingat, ibunya berpesan untuk melempar satu-persatu bekal yang diberikan setiap ada bahaya yang mengancam. Reflek, Timun Emas mengambil satu item dari bekal tersebut dan sekonyong-konyong dilempar ke arah Buta Ijo. Yang dilempar ternyata hanya garam.

Garam yang jatuh tersebar ditanah mencair, meleleh dan mengalir menjadi air payau. Begitu cepat proses itu terjadi dan tidak lama air menggenang menjadi danau tepat dilokasi yang mau dilewati Buta Ijo.

Sangat mengagetkan peristiwa itu, tapi tidak ada waktu lagi untuk menghiraukan, Buta Ijo memutuskan untuk menyeberangi danau tersebut meski dirinya ragu dapat melakukannya. Danau yang dalam memaksa Buta Ijo harus berenang, tubuhnya yang besar dan kepandaian berenang yang kurang membuat Buta Ijo mengalami kesulitan. Tubuh Buta Ijo tenggelam timbul dengan napas yang terengah engah bagai sekarat namun tetap mencoba.

Situasi itu digunakan Timun Emas untuk menjaga jarak lebih jauh lagi dengan meneruskan langkahnya berlari, sementara Buta Ijo terus berusaha menyebrang danau. Namun demikian, meskipun dengan susah payah, akhirnya Buta Ijo berhasil juga melalui rintangan tersebut. Dan iapaun meraih daratan dan meneruskan pengejarannya.

Keduanya sama-sama lelah, dua makhluk yang terdiri, satu raksasa dan satunya lagi anak manusia terus berkejar-kejaran.

"Timun Emas, berhentilah, jangan membuat aku marah, kau tidak akan dapat lepas dari aku!" teriak Buta Ijo semakin tegas.

Timun Emas melirik kebelakang tak acuh kepada Buta Ijo. Nampak Buta Ijopun sama-sama lelah, terlihat dari langkahnya yang semakin gontai disertai napas yang sudah tersengal. Tapi, rupanya nafsu yang besar untuk memilikinya membuat dia bertahan.

"Berhentilah sayang, jangan siksa aku begini" katanya dengan napas yang tersengal dan kaki yang serasa sudah tidak mau dilangkahkan lagi. Jarak Buta Ijo dengan Timun Emas hanya beberapa langkah saja. Tapi raksasa itu tidak melakukan apa-apa. Dia lebih sibuk mengurus sesak napasnya yang demikian menyiksa daripada mengurus Timun Emas yang didepan mata, dengan napas yang tersengal dia hanya membungkuk memegang lutut yang mulai bergetar.

"Hah !, siksa, siapa yang menyuruhmu mengejar aku?" tanya Timun Emas.

"Tidak ada" jawab Buta Ijo. "Ini adalah perjanjian antara aku dengan ibumu untuk mengambil anaknya jika dia terlahir sebagai perempuan"

"Tapi, aku tidak mau ikut denganmu, bagaimana, apakah kau tetap mengejarku?" tanya Timun Emas. 

"Tentu, aku tidak akan berhenti mengejarmu, sampai kau benar-benar ku dapatkan" jawab Buta Ijo bersikeras dengan keinginannya.

Timun Emas melihat senjata yang tersisa dua butir, yang berarti tinggal dua kesempatan mengatasi bahaya yang mengancam. "Kalau begitu, terimalah ini!" teriak Timun Emas seraya melempar satu bendel bungkusan yang ternyata berisi jarum.

"Timun Emas, apa yang kau lakukan ?" tanya Buta Ijo yang merasakan tanah didepannya mulai bergetar, dari dalam tanah bermunculan rumpun-rumpun pohon bambu yang sangat lebat. Kini kali kedua Buta Ijo menyaksikan keajaiban yang dilakukan Timun Emas.

Rumpun-rumpun pohon bambu yang lebat membuat Buta Ijo mendapat kesulitan untuk menerobosnya. Buta Ijo tetap tidak menyerah, seberapapun susahnya diapun berusaha menerobos setiap rumpun bambu yang lebat itu.

Timun Emas menyaksikan kegigihan Buta Ijo yang tidak kunjung surut menjadi kuwatir. "Jika Raksasa itu akhirnya berhasil juga menembus rintangan yang kubuat, apa jadinya. Aku hanya memiliki satu bendel senjata yang tersisa. Jika akhirnya itupun dilalui, tamatlah riwayatku" pikirnya dalam hati.

Sementara Buta Ijo terus dengan usahanya menerobos setiap celah rimbunnya pohon bambu tanpa kenal menyerah. Kenyataan itu dilihat sendiri oleh Timun Emas. Namun demikian, tak banyak yang dapat dilakukan lagi, kecuali mengandalkan satu bendel senjata terakhir yang harus digunakan menunggu sa'at yang tepat.

Setelah senjata kedua digunakan, apa yang dicemaskan Timun Emaspun terjadi. Buta Ijo terbukti masih mampu melampoi  rintangan yang kedua. Dengan Tubuh babak belur akibat himpitan dan gesekan batang bambu yang keras, Buta Ijo keluar dengan senangnya. Bahkan, dia masih dapat tertawa lebar, mungkin karena leganya berhasil terbebas dari siksaan akibat susahnya menerobos lebatnya rumpun bambu.

"Hahaha...! sudah ku bilang, kau tak akan dapat lepas dari aku, Timun" katanya dengan suara yang menggelegar.

"Tidak, kau tidak akan dapat mengambilku" kata Timun Emas tidak dapat menerima.

Dengan hati yang pasrah Timun Emas melempar senjata terakhirnya yang ternyata hanya seiris terasi. Terasi yang terjatuh meleleh, lalu membentuk gelembung-gelembung. Gelembung-gelembung tersebut pecah dan menyebar ketanah. Setiap tanah yang tersentuh menjadi gembur, dengan cepat hal itu terjadi membuat tanah disekitar lokasi menjadi rawa endut hanya dalam hitungan detik saja.

"Apa lagi yang kau lakukan, Timun?" tanya Buta Ijo tak habis pikir.

"Hai, Buta, kuingatkan kau, sebaiknya urungkan saja niatmu untuk mendapatkan diriku?"kata Timun Emas.

"Jangan coba membujukku, gadis kecil" jawab Buta Ijo.

"Aku serius, aku berbaik hati padamu"

" Berbaik hati apa, kau selalu membuat sulit aku, itukah yang namanya berbaik hati?" Buta Ijo tidak percaya.

"Jika kau melewati rawa endut itu, kau bisa tenggelam, kau bisa mati, untuk kali ini, percayalah padaku ?" kata Timun Emas meyakinkan.

"Selama ini aku tidak pernah gagal melewati rintangan yang kau berikan, aku tahu apa yang selalu kau lempar dari genggamanmu telah habis, dan ini yang terakhir, setelah ini, tak ada lagi halangan untuk menangkapmu gadis kecil, keberhasilan sudah didepan mata, aku sudah tak sabar membayangkan pulang dengan membawamu, sayang" Kata Buta Ijo tidak menuruti bujukan Timun Emas. Ia beranggapan, itu hanya akal-akalan Timun Emas karen keajaiban yang dimilikinya sudah habis.

Tak menurut dengan apa yang disarankan, Timun Emas membiarkan Buta Ijo yang tetap keras dengan pendiriannya. Buta Ijopun melangkahkan kakinya masuk kearea rawa. Kaki besar dan berat itu masuk, diteruskan  dengan kaki yang lainnya. Beberapa langkah kedepan masih dapat berjalan. Namun, pada langkah berikutnya, kaki Buta Ijo semakin sulit untuk diangkat, sayang sekali, padahal jarak yang ditempuh sudah sepertiga dari panjang jarak rawa seluruhnya. Tanah yang semakin gembur dan pekatnya lumpur rawa membuat kedua kakinya perlahan-lahan hanya terperosok saja, semakin dalam dan semakin dalam. Pelan, tapi pasti.

Kondisi tersebut sampai membuat kaki Buta Ijo tidak dapat digerakan sama sekali. Ia benar-benar tersetak dan membuat tubuhnya hanya dapat berdiri terpaku seperti tiang yang ditancapkan ditengah rawa. Ia hanya bisa melambaikan tangan dan merasakan badannya semakin  tenggelam.

"Tolong...tolong!" teriaknya.

Namun, teriakan tinggal teriakan. Badan yang besar terus masuk ke bumi. Hingga sampai pada detik-detik teriakan itupun harus berhenti setelah batas lumpur sudah melewati garis mulut yang memaksa membungkamnya dari mengucapkan beberapa kalimat.

Setelah mulutnya, lalu matanya, ubun-ubunnya dan terakhir bagian kepalanya. Hingga tenggelamlah semuanya, semua bagian tubuhnya. Dan permukaan rawapun kembali tenang.

Segelembung udara muncul, itu napas Buta Ijo yang terakhir.

Dengan tenggelamnya Buta Ijo, maka legalah perasaan Timun Emas, seakan berakhirlah ancaman yang selama ini menghantui hidupnya, membuat dia harus berjuang sendiri hidup dan mati. Sekaligus mengakhiri cerita pengejaran gadis cantik Timun Emas oleh raksasa Buta Ijo. Sebuah cerita rakyat yang sudah sangat terkenal.

Timun Emaspun kembali menemui  ibunya yang seorang diri. Betapa ibunya sangat senang melihat anaknya kembali dengan selamat dari ancaman siButa Ijo. Ia berterima kasih kepada Tuhan. Ia percaya, apa yang tejadi semua tidak lepas dari pertolonanganNya.

Dan sejak saat itulah dipangkuan ibunya Timun Emas hidup bahagia.

Rabu, 09 Oktober 2019

TIMUN EMAS DAN BUTA IJO (PART 1)


Apa kabar gaess! Nyaris satu minggu kita tak jumpa, kali ini saya mau mendongeng, dongeng yang  menghiasi emaginasiku puluhan tahun berlalu hingga sekarang masih terngiang, terutama disaat-saat sepi seperti ini.

Mengenang masa kecil, menjelang tidur, ibuku selalu mendongeng, tujuannya adalah untuk mengantarkan aku agar lekas tidur. Alih- alih lekas tidur, dongeng ibu malah membuatku tidak bisa tidur, aku hanyut dalam alur cerita.

Bagaimana tidak, dongeng itu tentang gadis cantik Timun Emas yang harus bergelut dengan perjuangan hidup atau mati membebaskan diri dari kejaran Buta Ijo (Raksasa dengan tubuh berwarna hijau) yang mau menyantapnya.

Begini awal cerita itu terjadi. Pada suatu hari hidup seorang janda di tengah sebuah hutan jauh dari keramaian maupun tetangga layaknya orang hidup ditengah-tengah masarakat pada umumnya. Dia hidup secara solitair. Mungkin frustrasi dari perkawinannya yang gagal hingga memilih untuk hidup menyendiri di sebuah tempat tanpa ada seorangpun mengetahuinya.

Sebagai manusia yang merupakan genus makhluk sosial, bagaiman dia dapat hidup tanpa seorangpun di sekeliling kehidupannya. Dia tidak mempunyai tetangga manusia.

Ini adalah kisahnya. Walaupun tak ada segelintirpun manusia kecuali dirinya seorang, naluri jiwa sosial tidak lepas begitu saja pada dirinya. Sebagai gantinya, ia membangun hubungan sosial dengan makhluk apa saja yang ada disekelilingnya.

Namanya ditengah hutan, masarakat yang ada disana juga para penghuni hutan, seperti binatang, hantu, siluman dan makhluk- makhluk lain selain manusia, tentunya.

Janda muda yang masih tergolong cantik itu memiliki keinginan besar mempunyai seorang anak, sungguh sesuatu yang tidak mungkin, sedang bertemu laki-laki saja tidak pernah. Akan tetapi, Nini Srindil ( nama janda tersebut) tidak menyerah berdoa kepada Yang Kuasa agar tetap dikaruniai seorang anak. Keyakinannya kepada yang Maha Pencipta begitu besar, baginya tidak ada yang sulit jika sesuatu telah mendapatkan ridloNya, hanya Dialah sebaik-baik tempat meminta.

Rupanya Tuhan mengabulkan doa umat tersebut, apapun bentuk terkabulnya sebuah do'a, semua tidak lepas dari taqdir dan kehendakNya juga.

Seorang raksasa Buta Ijo tiba-tiba datang menemui Nini Srindil . Kedatangannya bermaksud menawarkan bantuan kepada Nini Srindil dalam mewujudkan keinginannya yaitu memiliki momongan atau anak, tapi dengan satu sarat. Sarat tersebut adalah kalau anak yang akan lahir nanti laki-laki, dia akan menjadi anak yang bisa membantu dan menjaga ibunya dan tidak ada hal apapun yang harus dibayar sehubungan dengan jasa si Buta Ijo tersebut. Dia melakukannya semata-mata  ikhlas membantu.

Akan tetapai, jika anak yang akan lahir nanti perempuan, Buta Ijo akan mengambilnya. Tidak diterangkan untuk apa anak perempuan saat sudah diambilnya nanti, mungkin untuk dijadikan piaraan atau bahkan untuk santapan, mengingat Buta Ijo adalah raksasa yang juga dikenal suka makan orang.

"Bagaimana, diel?" kata Buta Ijo menegaskan tawarannya.

Nini Srindil semula bingung untuk memutuskan untuk menerima atau tidak dengan perjanjian yang  tidak pasti dan spekulatif tersebut. Tidak bisa dibayangkan jika perjanjian itu tidak sesuai apa yang diharapkannya, namun akhirnya ia memutuskan untuk menerimanya, apapun resikonya.

Dengan menerimanya perjanjian yang ditawarkan oleh Buta Ijo berarti perjanjian telah disepakati. Buta Ijo kemudian memberikan sebutir timun yang masih muda dan  menyuruh Nini Srindil  memakannya.

Entah karena apa, setelah Nini Srindil memakan timun tersebut, Nini Srindilpun hamil. Ia sangat bahagia terjadinya hal tersebut.  Sembilan bulan ia membawa jabang bayi didalam kandungan dengan penuh rasa sayang dan penuh suka cita.

Setelah genap sembilan bulan usia kehamilan, maka lahirlah jabang bayi, celakanya, bayi yang baru lahir itu berkelamin perempuan, sesuai perjanjian dengan Buta Ijo, jika bayi lahir perempuan, maka Buta Ijo akan datang untuk mengambilnya.

Nini Srindil tiba-tiba menjadi sedih mengingat hal itu, apalagi jika melihat anak yang baru lahir sangat cantik dan lucu. Ia baru saja memberi nama, Timun Emas, sesuai dengan pemberian Buta Ijo yang ternyata menjadi penyebab kehamilan setelah makan pemberiannya yaitu buah timun.

Hanya selang beberapa hari, apa yang didugapun terjadi. Buta Ijo datang, Buta Ijo begitu girang setelah mengetahui anak yang lahir itu perempuan. Diapun tidak sabar ingin membawanya.

Nini Srindil memang sadar sudah kalah perjanjian, tapi berat sekali rasanya untuk memberikan Timun Emas kepada Buta Ijo. Apapun caranya ia berusaha untuk mempertahankannya.

"Apa Timun Emas mau dibawa sekarang, pak Buta?" tanya Nini Srindil.

"Tentu, dong, mang kenapa?" tanya Buta Ijo.

"Kalau boleh saya sarankan, sebaiknya biarlah Timun Emas saya piara dulu, setelah dia besar dan menjadi remaja pasti dagingnya akan lebih enak dan jumlahnya  lebih banyak dari pada masih orok seperti ini, disamping dagingnya masih lunak, porsinya juga belum mencukupi untuk seorang raksasa" kata Nini Srindil.

"Oh, gitu, ya" jawab Buta Ijo. "Oke, kalau begitu, piara saja dulu, nanti aku kesini setelah dia besar dan sudah menjadi remaja". Katanya menurut saja pada saran Nini Srindil.

Nini Srindil merasa lega, siasatnya untuk mengelabuhi raksasa itu berhasil, seperginya Buta Ijo yang tidak jadi mengambil Timun Emas, melainkan menundanya di syukuri dengan sujud syukur. Meskipun hidup sebagai orang hutan, Nini Srindil tidak melupakan Tuhannya, dia selalu rajin mengerjakan sholat. Dia juga berkeyakinan apa saja yang terjadi pada dirinya juga semua semata-mata atas kehendaknya.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu Timun Emas hidup bersama Nini Janda menjadi anak kesayangan. Timun Emas tumbuh menjadi putri yang sangat cantik dan berbakti kepada orang tuanya. Sampai suatu hari, usianya terhitung tepat 17  tahun, sweet seventeen, yaitu masa remaja yang sedang manis-manisnya. Hal itu sekaligus juga menunjukan detik-detik Buta Ijo akan datang untuk yang kedua kali sesuai dengan janjinya untuk mengambil Timun Emas.

Melihat kenyataan itu, Nini Srindil jatuh lagi dalam kesedihan. Semakin berat berpisah dengan Timun Emas. Ia tidak dapat membayangkan disuatu waktu Buta Ijo membawanya begitu saja. Lagi-lagi dia hanya berserah diri kepada Tuhan. Ia memohon agar Timun Emas tetap berada disisinya, ia tidak mampu berpisah dengan anak satu-satunya yang sangat disayang itu.

Air mata do'a seorang ibu untuk anaknya tak pernah berhenti berkumandang, dia terus mengetuk langit.

Dan hari yang ditakutinya akhirnya datang juga. Buta Ijo datang tepat pada waktu yang dijanjikan. Melihat Timun Emas yang sudah besar, berkulit bersih dan berwajah cantik, Buta Ijo sangat girang.

Melihat Buta Ijo datang ke rumah dan perhatian yang semua tertuju kepada dirinya, Timun Emas jadi salah tingkah.

Nini Srindil mengerti dengan keadaan anaknya. Namun demikian, apa boleh dikata, ia belum sempat memberi tahu kepada Timun Emas apa yang terjadi sebenarnya.

Mumpung Buta Ijo sedang duduk di ruang depan menunggu Timun Emas berkemas-kemas, merupakan kesempatan Nini Janda untuk menjelaskan kepada Timun Emas tentang apa yang terjadi.

Setelah dijelaskan dengan detil tentang semuanya, Timun Emas menangis dan langsung memeluk Nini Srindil, ibunya.

"Nggak mau, aku tidak mau ikut Buta Ijo, bu" katanya, seraya berusaha mendongkel pintu belakang rumah.

" Mau kemana, nak?" tanya ibunya.
" Aku mau pergi" jawab Timun Emas

Nini Srindil tidak melarang. Ia berpikir itu lebih baik daripada bersama Buta Ijo. Selang beberapa langkah Timun berjalan, " Nak!" panggilnya.

Ibunya menghampiri Timun Emas. Dari tangannya diberikan sebuah bungkusan yang didalamnya berisi 3 buah bendel  jimat sebagai senjata buat keselamatan . Sebagai seorang ibu, sudah sepantasnya Nini Srindil melakukkan apa saja demi keselamatan anaknya.

"Hati-hati, nak, do'aku nenyertaimu, lemparkan satu persatu benda itu saat kau dalam bahaya" katanya sambil perlahan-lahan melepaskan pelukan dan kepergian Timun Emas.

Mendengar samar-samar percakapan dan kegaduhan kecil dibelakang rumah, Buta Ijo jadi curiga. Iapun mengintip ke belakang  menuju sumber kegaduhan. Apa yang ia dapati tidak lain Timun Emas yang sedang siap-siap melarikan diri untuk menghindari dirinya.


( Bersambung ke Part 2)