Bahasa Ngapak, yaitu bahasa Jawa dari daerah Banyumas dan sekitarnya berbeda dengan bahasa daerah Jawa yang sudah ditetapkan dengan nama Bahasa Jawa. Tentunya ada patokan-patokan tertentu, baik dari ejaan, dialek dan kamusnya.
Banyumas yang lebih dikenal dengan kotanya, Purwokerto, merupakan daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat memang memiliki dialek yang berbeda.
Lebih sekedar perbedaan dialek dari bahasa Jawa, dalam bahasa sehari hari atau yang disebut Jawa ngoko, bahasa Banyumasan berbeda dengan bahasa Jawa. Bermula dari akhiran yang cenderung memakai hurup "a" dan sebutan beberapa huruf dengan begitu medok, seperti saat mengucapkan hurup mati "k", membuat bahasa Jawa-nya orang Banyumas atau Purwokerto dikatakan orang dengan istilah "ngapak".
Perbedaan tersebut jika diamati begitu banyak dan hampir pada semua kata. Bahasa sehari-hari orang Banyumas dapat dibilang bukan bahasa Jawa, akan tetapi lebih tepat dinamakan bahasa Banyumasan. Meski masih didalam hingkai bahasa Jawa, bahasa Banyumasan cenderung terdengar lucu sekaligus kasar untuk dimasukan dalam bahasa Jawa yang lembut dan halus.
Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia periode 2019-2024 yang juga rival Presiden Jokowi dalam pencalonan presiden, Prabowo Subianto dalam kampanyenya mengakui tidak dapat ngomong dengan bahasa yang lembut sebab dia keturunan Jawa Banyumas, kata beliau juga, Banyumas itu Bataknya Jawa, jadi tidak sehalus orang Solo, dalam hal ini adalah Jokowi yang berdiri disamping dalam sesi debat calon presiden di televisi.
Sehubungan dengan bahasa ngapak, dibawah ini beberapa contoh perbedaan bahasa Jawa dengan bahasa ngapak.
* "bapak ke mana", dalam bahasa Jawa diucapkan = " bapa' nyang endi, dalam bahasa Ngapak = "bapake arep maring endi"
* "Jangan begitu", bahasa Jawa="ojo ngono", bahasa Ngapak="aja kaya kue"
* "Bagaimana bisa menjadi begini", bahasa Jawa="piye dadi koyo ngene", bahasa ngapak="keprimen kok bisa dadi kaya keye"
* "Jangan lupa", bahasa Jawa="ojo lali, bahasa Ngapak="aja kelalen"
* "Dibilangin baik-baik malah marah", bahasa Jawa=" Dikandani api-api malah nesu", bahasa ngapak=" diomongi apik-apik malah kesuh"
* "Orang gila", bahasa Jawa="wong edan", bahasa ngapak="wong kentir"
* "Teriak-teriak", bahasa Jawa="bengo-bengo", bahasa ngapak="ngarang-ngorong
* "Lapar", bahasa Jawa="ngelih", bahasa ngapak="kencot"
* " Tidak ada", bahasa Jawa="ora ono", bahasa ngapak="ora ana"
* "Jangan menyalahkan/memarahi", bahasa Jawa="ojo maido", bahasa ngapak="aja ngomeih"
* " Kesana-kesini", bahasa Jawa="rono-rene", bahasa ngapak="nganah-ngeneh"
* " Jatuh", bahasa Jawa=" ceblok", bahasa ngapak=" gigal"
* " Menimbulkan", bahasa Jawa=" mara'ke", bahasa ngapak= "merekena"
* " Sok cantik", bahasa Jawa= " kemayu", bahasa ngapak= " lenjeh"
* " Saja", bahasa Jawa= "wae", bahasa ngapak=" bae"
* " Kasihan", bahasa Jawa=" mesa'ke", bahasa ngapak=" melasi" dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.
Bukankah itu sebuah perbedaan yang jauh, perbedaan yang bukan sekedar dialek, akan tetapi sudah termasuk perbedaan secara keseluruhan. Dari pakem tata bahasa Jawa yang terpetak-petak hingga 3 tingkatan yaitu, 1. Ngoko, 2. Krama, 3. Krama Inggil, ketiganya dipakai dalam waktu, situasi dan kondisi berbeda sesuai tempatnya. Uniknya, orang Banyumas atau Purwokerto dalam penggunaan bahasa Jawa tingkat ke-3 yaitu Jawa Krama Inggil didapati tak ada perbedaan, dalam bahasa Jawa Krama Inggil, tidak didapati lagi bahasa ngapak, orang Banyumas akan terdengar sama halusnya dengan orang Solo atau Yogya.
Bahasa ngapak ternyata hanya ada dipercakapan sehari-hari, itupun digunakan kepada orang yang sudah dikenal akrab, seperti teman dan orang-orang yang berkedudukan sepantar. Dalam bahasa Jawa, tingkatan ngoko dapat dikatakan bahasa pasaran yang digunaka sehari-hari dilingkungan sekitar. Kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi, seperti orang Jawa lain yang baru dikenal, orang tua atau pemimpin yang seharusnya dijunjung dalam suku Jawa orang harus menghormati. Sebagai bentuk hormat tersebut orang Jawa mengungkapkannya dalam bentuk bahasa, itu menjadi yang pertama dan selanjutnya adalah perbuatan.
Tidak dipungkiri Jawa adalah suku yang berlatar belakang kerajaan, pahan feodalisme masih kuat, baik secara langsung maupun tidak, menghormati kepada yang lebih tua, baik secara umur atau derajat adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Meninggalkan tatanan itu orang akan dianggap dalam bahasa ngapak disebut "mregajag" =tidak sopan, dampaknya adalah hukum sosial yang berimbas penolakan sebagai orang Jawa, karena orang Jawa yang baik itu harus "nJawani". Sopan santun adalah hal yang penting.
Kembali ke perihal bahasa ngapak, keunikan lain juga didapati. Bahasa ngapak jika diperhatikan ternyata banyak yang diucapkan oleh orang Betawi dengan bahasa Betawinya. Bahasa Betawi yang diserap dari bahasa Melayu yang juga banyak dipakai menjadi bahasa Indonesia yang akhirnya diputuskan menjadi bahasa persatuan untuk Indonesia mempunyai dialek dan kosa kata yang berbeda. Dialek Betawi yang cenderung menggunakan akhiran "e" pada akhir kalimatnya, sering juga menggunakan kata-kata yang sama dengan Jawa Ngapak atau Banyumasan.
Dibawah ini contoh dari kata bahasa ngapak yang sering diucapkan oleh orang Betawi.
Kebeler=tergores,
Merat=pergi,
Doyan=suka,
gedongan=kaya,
tukang=pekerja,
bonjrot=rugi,
goblog=bodoh,
budeg=tuli,
ujug-ujug=tiba-tiba,
ngesot=berjalan dengan pantat,
rempug=berunding,
geger=viral,
bocah=anak-anak,
gedongan=kaya,
mancing=mengail,
ngaso=istirahat,
lonte=pelacur dan masih banyak yang belum disebutkan. Semua itu ada dalam kamus bahasa ngapak yang dipakai aktif setiap hari oleh orang ngapak di Banyumas, Purwokerto.
Bicara orang Betawi, terlepas dari soal bahasa, saya pribadi mengamati ada kecocokan antara orang Betawi dengan orang ngapak. Tidak perlu jauh-jauh saya mendapati bukti bahwa saya punya banyak sepupu yang merantau ke Jakarta, disana mereka bekerja dan 90℅ mereka berakhir nikah dengan orang Betawi. Sampai sekarang mereka hidup damai, tentram dan bahagia.
Begitu juga dari kalangan teman dan tetangga sekampung, mereka banyak yang menikah dengan orang Betawi dan membina keluarga. Sebagian bahkan ada yang berurbanisasi ke Jawa dan menetap di sana.
Mungkin pada kesempatan lain, saya juga menulis tentang Orang Ngapak dan Orang Betawi. Bahasa ngapak yang kadang terdengar lucu dan kasar untuk berada dalam bingkai bahasa Jawa yang halus dan lembut, biarlah menjadi warna untuk Indonesia yang berbeda-beda tapi satu kesatuan. Orang negeri lain bilang, Unity in universal, dan aku bangga menjadi bagian dari perbedaan itu.
0 komentar:
Posting Komentar