Senin, 10 Oktober 2016

TEWAS TERJUN DI AIR TERJUN GOMBLANG



Air yang berhambur setelah terjun dari ketinggian ratusan kilometer menciptakan efek embun bagai butiran salju , bersama angin menyabet dedaunan di sekitar hingga tak berhenti bergoyang, burung cenginging melintas t ak bersuara tenggelam oleh derunya suara air yang terjun.

Seorang gadis berdiri terpaku. Wajahnya mendongak memandang ke atas, ke hulu air yang jatuh. Rambutnya yang kian basah tak dihiraukan, mulut komat kamit entah apa yang diucap.

Diatas sana , diatas air yang tejun itu tengah berdiri seorang pemuda, katakan bernama Yado [bukan nama asli]. "Haiii....!" Teriaknya kuat -kuat memanggil seseorang yang dibawahnya.

Gadis yang tengah menunggu itu, katakan saja bernama,Tini. Tini mengacungkan jempol ke arah Yado.
" Siiiiiiiip !" teriaknya.

Dan tak lama kemudian, ciaaaaaaat !

Yado terjun. Badannya meliuk jatuh seperti burung elang menangkap mangsa. Sayangnya, hal itu terjadi di tahun 2000, belum jaman henpon yang ada kameranya.

walau sudah ada, setidaknya belum memasyarakat, masih sangat mahal dan tak memungkinkan untuk dimiliki oleh seorang Tini, jadinya pemandangan yang indah itu hanya bisa dinikmati oleh Tini seorang dan hanya bisa didokumentasi di dalam otak.

Tubuh Yadopun jatuh menghantam permukaan air telaga dibawahnya. Riak air yang muncul membuyarkan semua yang ada disekelilingnya. Tubuh Yado menghilang ke dasar telaga

" Yadoooo!" teriak Tini memanggil kewatir.

Tak lama setelah airpun tenang kembali, munculah Yado ke permukaan. Ia melambaikan tangan. Tak tahu apa yang dimaksud dengan lambaian tangannya itu. Dan hanya sebentar kemudian ia tenggelam kembali, lalu sebentar kemudian muncul lagi, tenggelam lagi dan seterusnya.

Satu menit, dua menit, kemudian sepuluh menit, tubuh Yado belum juga muncul. " Lhoo !". Kecemasan timbul dipikiran Tini, ia melihat semua sudut disekitar sepi dan kegelisahan mulai muncul hingga mengacaukan tingkah lakunya. Berlari kesana kemari mengharap ada orang disekitar guna meminta pertolongan.

Beruntung ada seseorang yang kebetulan lewat tak jauh dari lokasi. Tinipun mengutarakan apa yang sedang terjadi. Yang dimintai tolong segera bergegas mengeceknya, tak banyak yang bisa dilakukannya, kondisi air yang dalam dan medan yang sedemikian rupa tidak bisa ia melakukannya sendirian, ia hanya bisa membantu memberi tahu kepada keluarga dan melaporkannya ke polisi.

Yado dinyatakan hilang. Begitu akhirnya polisi memutuskan status kejadian yang dilaporkannya . Tak ada lain yang harus dilakukan kecuali pencarian.

Pencarianpun segera dilakukan dihari itu juga. . Tim SAR , Satuan Penyelamat dan Para ahli-terkait dibidangnya telah siap melakukan tugasnya..

Penyelam demi penyelam bergantian diterjunkan ke telaga diposisi dimana tubuh Yado jatuh, namun sampai menjelang petang tubuh Yado belum juga ditemukan, karena tak mungkin dilakukan di malam hari , pencarian akhirnya di hentikan.

Tak tega meninggalkan lokasi begitu saja, meski tak ada aktifitas pecarian dalam bentuk penyelaman, dari pihak keluarga dan masyarakat memutuskan untuk melakukan penjagaan lokasi hingga siang berikutnya.

Semalam suntuk disekitar telaga penuh lampu- lampu dan orang –orang begadang mengamati permukaan air telaga. Tak ada tanda apa apa, hingga siang pun datang dan dimulai lagi pencarian selanjutnya.

Hari kedua pencarian dilakukan dengan persiapan yang lebih matang. Penyelampun kembali diterjunkan. Hingga sekitar pukul 14.00 menjelang sore, satu anggota penyelam nampak muncul ke permukaan air dan memberi isyarat kepada anggota yang sehubungan dengan ditemukannya sesuatu yang mencurigakan tepat diposisi dia melakukan penyalaman. Dan fokus kemudian diarahkan dititik tersebut.

Ada kesibukan mendadak pada anggota regu penyelamat di tempat itu, sebelum akhirnya sesosok tubuh kaku pucat dan pakaian yang sudah compang camping diangkat oleh anggota penyelamat ke permukaan.

Sosok itu adalah tidak lain tubuh Yado yang tidak lagi bernyawa. Yado mati oleh permainannya sendiri, imbas dari terjun bebas di air terjun Gomblang.

Sejak peristiwa itu, Air Terjun Gomblang indah itu seakan mati suri oleh sepinya pengunjung hingga bertahun-tahun lamanya. Keindahannya berubah menjadi wahana angker dan mencekam, sebelum akhirnya semuanya pulih kembali sejak tahun 2014 bersama bangkitnya gerakan pemuda setempat yaitu pemuda Baseh, Kalisalak dan Windujaya bekerja sama dengan LMDH ( Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan Perhutani.




                                      
                                      Air Terjun Gomblang kini



Jumat, 07 Oktober 2016

SUMI SETAN POLINDES RABUK


Ada sebuah rumah mungil dibangun diatas sebuah belik ( mata air) tapatnya di Jalan Cibun-Rabuk, sebuah dusun di Purwokerto sebrang jalan gedung Sekolah Dasar . Disamping jauh dari tetangga rumah itu juga tampak sepi dan angker . Jauh sebelum rumah itu dibangun pernah ada seorang gadis kerasukan dalam igaunya mengaku bersasal dari belik itu, gadis itu sakit dan akhirnya meninggal. 

Gadis itu bernama Si Umi atau dikenal dengan nama Sumi.
Rumah itu dibangun oleh pihak Sekolah Dasar guna sebagai tempat tinggal guru yang bertugas di sekolah tersebut yang berjarak tidak jauh dari tempat itu. Penghuni pertama rumah itu adalah Kepala Sekolah  itu sendiri dan keluarganya, namun tak lama mereka pindah ke tempat lain. 

Sejak saat itu rumah tak lagi dirawat , dari suasana semula ramai menjadi bertambah sepi.
Berapa sa'at kemudian datang lah Pak Mahudi seorang guru agama bertugas di Sekolah tersebut. 

Karena datang dari tempat yang cukup jauh Banjarnegara , dia pun menempati  rumah itu. Dia membawa seorang istri dan satu anak, Istrinya yang juga pebisnis ayam goreng  cukup sibuk . 

Dicarinya seorang gadis dikampung itu untuk bekerja sebagai penjaga anaknya, Ani, dan gadis yang  lamarannya diterima itu bernama Nilla, Nilla sebenarnya gadis yang cantik dan berkulit bersih mirip Nike Ardila penyanyi yang paling terkenal kala itu. Bahkan kemiripannya membuat teman-temannya banyak yang memanggil dia Nike.

Pada suatu malam yang sepi,  Nilla baru saja menina bobokan Ani hingga tidur disisinya, kini giliran dia sendiri mulai memejamkan mata, namun belum sempat mata itu terpejam, sayup – sayup terdengar suara lirih memanggil  dari balik jedela,

Nilla                :” Siapa ?
Suara itu        : “Aku Sumi yang punya rumah ini.”
Nilla memilih diam berpikir, jelas pemilik rumah itu adalah Pak Mahudi , guru sekolah itu. Tiba –tiba bulu kuduk Nilla merinding
Nilla               :  “Mau ngapain ?”
Suara itu       :”Mau ambil adikmu itu.”
Pikiran Nilla mengarah ke Ani, gadis mungil yang harus dijaganya.
Nilla              :”Tidaaaaaaaak!”

Seperti reflek Nilla menjerit sekencang –kencangnya, hingga membangunkan  Pak Mahudi yang sedang lelap tidur.

Pak Mahudi : “ Nill... ada apa?”

Nilla segera membuka kamar dan menerangkan apa yang baru terjadi, bangunnya semua orang  yang ada disekeliling  serasa meringankan rasa takut nya.

Pak Mahudi  :” Ah...kamu bafer aja kali, kamu banyakan                                      menghayal mau tidur, sih..”
Nilla               :” Tahu lah!”
Pak Mahudi  :” Dah , tidur lagi, sana, itu hanya  ilusi ..”

Pak Mahudi pergi kembali ke kamar

Nilla kembali melanjutkan tidurnya.

Setelah beberapa hari berlalu , Ani sakit, sakitnya semakin parah, obat dari rumah sakit tak mampu mengobatinya dan  Ani meninggal.

 Pak Mahudi  dan Bu Rohati istrinya sangat sedih, begitu juga Nilla yang selama ini menjaganya  dan sudah menganggapnya seperti adik sendiri.

Tidak lama dari peristiwa itu Pak Mahudi mengajukan pidah tugas dan pengajuan pindah nya diterima dan merekapun pindah meninggalkan rumah , pindah ke tempat daerah asalnya, Banjarnegara.

Dan Nillapun pulang kerumah orang tuanya yang tak jauh jaraknya dari tempat itu.

Rumah itu untuk kesekian kali jatuh lagi dalam kesepian. Lebih-lebih kematian Ani  dikaitkan dengan hantu  Sumi yang pernah menemui Nilla kala itu.

Sumi, ya, hantu Sumi. Begitulah orang kampung menyebutnya

Tiga tahun berlalu, Nilla usianya genap tujuhbelas tahun. Dia tumbuh menjadi seorang gadis cantik dan lebih matang. Dua tahun terakhir ia bekerja di Jakarta, tapi  pulang kampung karena termasuk karyawan yang terkena  PHK masal

Purwokerto bulan purnama. Ia duduk di sebuah bangku depan rumah, menunggu teman yang biasa datang jika saat-saat seperti itu, sekedar ngobrol , berbagi pengalaman atau hanya sekedar bercanda  menikmati sejuknya cahaya purnama. Angin pun behembus menambah dingin malam, tapi tumben di petang itu tak seorangpun diantara teman-temanya terlihat datang.

Ia hanya bisa menerawang jauh di depan rumah pada sebuah pohon pucung berdiri tegar diatas jalan setapak menuju telaga perbatasan sungai Logawa. Samar – samar pandangannya tetumbuk pada seonggok benda yang bentuknya seperti sosok manusia   layaknya berdiri memandang kearahnya.
“Siapa itu ?” batinnya bertanya.

Rasa penasaran , Nilla bangkit dari duduknya berusaha mengakomodasikan matanya untuk menyesuaikan dari kegelapan guna melihat lebih jelas bayangan itu, ingin lebih jelas lagi, lalu didekatinya, tetapi mendadak langkahnya  berhenti  ketika tiba-tiba bau wangi melintas dipenciumannya dan perasaan yang tidak enak seakan hinggap pada dirinya , lebih-lebih mengingat jika jalan setapak itu bukanlah satu-satunya jalan yang biasa dilalui apa lagi dimalam hari, ngapain  seseorang berdiri disitu? Memandangku, lagi.” Batin Nilla terus berargumen sendiri  dengan berbagai kejanggalan didepannya . 

Setelah diperhatikan dengan jelas,  sosok tersebut tidak lebih seorang gadis  sebaya  dirinya.  Wajahnya yang pucat dan rambutnya yang awut – awutan, tersenyum .
Sosok itu : “ Hai “
Nilla         : “ Siapa, kau?”
Sosok itu: “ Aku Sumi, masih ingat,kan?”

Pikiran Nilla langsung tertuju pada sebuah tempat ia pernah bekerja sebagai penjaga anak di kampungnya, dan anak itu adalah Ani ,anak Pak Mahudi yang telah meninggal .

Nilla        :  “Jadi, kau..........?”
Sosok itu : “ Ya, aku yang mengambil adikmu, Ani,  dan kali                            ini giliran aku datang lagi untuk menjemputmu”
Nilla         : “ Jangan, jangan bawa aku, apa salahku ?”
Nilla memohon
Sosok itu  :  “ Aku sayang kamu, Nill, aku ingin kau                                          bersamaku,  kau harus ikut aku”
Nilla          :  “ Tidaaak..! Jangan bawa aku, aku masih ingin                            hidup,,,,,,,,Tolooooooooong!”

Suara Nilla menggulung bagai guntur, mengundang warga disekelilingnya yang mendengar berdatangan. Nilla terus meronta menolak ajakannya, hingga ia tersadar banyak orang-orang berkerumun dikanan kirinya. Rupanya ia baru saja mengalami pingsan.

Sejak sa’at itu Nilla jatuh sakit, dalam sakitnya banyak igauan yang diucapkannya, ia bagai  sadar dan tidak sadar. Orang mengatakan ia kerasukan, kesurupan, kesambet dan lainnya . Sejumlah orang pintarpun didatangkannya, bukan Cuma itu , iapun dibawa ke Rumah Sakit, namun tak kunjung juga usaha penyembuhan  ada hasilnya. 

Wajah cantik itu semakin layu, pucat dan pasi. Dan Nillapun akhirnya pergi , pergi untuk selamanya. 

Nilla  meninggal. Meninggal setelah  ditemui  hantu Sumi atau setan Sumi , nama itu bak melegenda di kampung kecil itu, konon kabarnya sampai sekarang  hantu Sumi masih kerap menampakan diri, juga setelah bangunan rumah itu dipugar dan  dialih fungsikan menjadi gedung Polindes.  Ia hanya  berganti penyebutan menjadi “Sumi Setan Polindes Rabuk”



 

 


 

Senin, 19 September 2016

16 BABI HUTAN MENYERANG KAMPUNGKU



 16 BABI HUTAN MENYERANG KAMPUNGKU
Pagi hari Selasa, tahun 1984, sekawanan celeng atau babi hutan yang berjumlah 16 ekor masuk kampung dan menyerang penduduk. Pagi menjelang siang biasanya celeng –celeng  itu harus pulang kesarangnya atau   tempat dimana mereka gunakan untuk beristirahat dan bersembunyi dari keramaian setelah semalaman  menghabiskan waktunya untuk mencari makan karena babi adalah binatang nokturnal yang mencari makan di malam hari.

Tapi rupanya hari itu hari yang berbeda cerita. Di pinggir kali Logawa mereka tersesat jalan, lupa kemana arah yang dituju untuk pulang. Sampai akhirnya, mereka memilih untuk menyeberang kali. Mereka juga lupa bahwa diseberang kali adalah desa tempat tinggal penduduk.

Menyebranglah babi -babi hutan itu dan masuk kebun perbatasan desa. Terkejut melihat banyak orang berlalu lalang. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang- orang yang melihat pemandangan yang tak biasa itu. Teriakan dan jeritan penduduk  membuat mereka panik. Dari sinilah awal dari kisah ini.

Bagi penduduk desa yang mayoritas petani, babi hutan atau celeng adalah hama bagi tanaman mereka. Sebagai hama mereka tak segan-segan menggasak habis tanaman mereka hingga tak tersisa. Oleh karena itu munculnya babi-babi hutan atau celeng-celeng itu harus dibasmi. Mereka adalah momok yang keberadaanya sungguh-sungguh tak diinginkan.

Oleh karena itu berkumpulah semua masyarakat untuk memburu binatang liar yang sedang terjebak itu. Binatang-binatang itu telah menyeberang kali Logawa yang tak mudah untuk mereka bisa kembali.

Binatang celeng sebetulnya binatang yang mempunyai sifat pemalu dan dia akan memilih lari menjauh sa'at bertemu dengan manusia. Tapi disisi yang lain jika binatang ini terusik, tersudut, apa lagi sampai dilukai maka dia akan menjadi beringas dan menyerang siapa saja yang dijumpainya. Itulah yang terjadi dalam peristiwa ini. Konflik sudah tak bisa dihindarkan. Kemarahan manusia telah membuat mereka pada opsi yang kedua. Babi-babi hutan itu benar-benar memilih untuk menyerang.

Sobari yang pertama menghadapinya. Satu babi hutan menyeruduk dengan taringnya yang panjang melewati ukuran mulutnnya. Sobari menangkis dengan tangannya, lalu tubuhnya, dan.....Sobari terjungkal. Perut sebelah kiri tertusuk taring, Sobari mengaduh, Toloooong ..! tapi, sebelum seseorang berhasil menolongnya srudukan kedua sudah dilakukan oleh binatang nekat itu, Sobari terkapar dan hanya terkapar meski terus berusaha untuk bangkit.

Sampai datanglah Mahmud. Mahmud yang pernah belajar ilmu konto dan juga petugas keamanan kampung mengambil alih kendali. Tapi yang ia lakukan justru  menari menggoyang goyangkan pinggul, orang yang melihat ketawa, ternyata itu bukan melucu ,tapi sebuah trik untuk mengalihkan perhatian babi hutan dari Sobari. Kini perhatian binatang itupun beralih ke Mahmud dan langsung saja beraksi dengan aksi khasnya yaitu menyeruduk mengancam Mahmud. Tapi, Mahmud berhasil mengelesnya dengan meloncat kepohon dan menempel disana seperti monyet. Trik yang  berhasil, karena babi ternyata tidak bisa memanjat pohon dan yang terpenting dia tidak bisa membelokan tubuhnya, akhirnya binatang itupun menabrak pohon. Sementara Mahmud meneruskan pergumulannya, kesempatan itu digunakan orang lain untuk  menolong Sobari yang sudah mati lemas dengan tulang dan badan yang sudah remuk.


Tak jauh dari tempat itu, Miarso sedang bersiul menghadapi sesuatu yang jarang dilihatnya, bibirnya sesekali  komat kamit tak tahu apa yang dibaca. Ternyata yang sedang ia hadapi adalah baby celeng alias anak babi hutan yang terpisah dari induknya. Miarso tak ingin melukainya. Ia ingin menangkap hidp- hidup dan menjadikannya binatang pelihara'an dirumah. Karena masih kanak –kanak, Miarso pun berhasil memikatnya tanpa kesulitan .

Pertempuran terus berlangsung, pertikaian terjadi dimana mana, hampir semua sudut kampung dari yang hanya kejar- mengejar sampai yang berkelahi.

Tapi  tak berarti semua dalam bentuk  ketegangan. Mereka bahkan ada yang sambil ketawa ngakak tak ubah nya sedang bermain petak umpet atau sedang bermain matador dengan banteng celeng, di bagian itu, hari itu adalah hari yang menyenangkan.

Lain dengan Sadem. Satu- satunya perempuan yang harus ikut terlibat dalam peristiwa itu. Hari itu ia sedang menanam padi ( Jawa : tandur), karena lokasi dia bekerja adalah lokasi tempat kejadian, iapun tak luput dari sasaran. Tapi disini keunikan justru terjadi. Sadem memang perempuan, tapi yang terjadi sungguh tak terduga. Bisa dikatakan dialah satu-satunya orang yang paling sukses dalam peristiwa itu. Melawan  ganasnya celeng yang  menakutkan. Lain dengan yang lain yang kebanyakan kaum laki laki yang melawan dengan otot kuat, tapi tidak dengan Sadem. Ia melawannya dengan otak.

Satu celeng besar dengan beringas berlari kearah Sadem. Binatang yang sudah terluka oleh sabetan parang orang sebelumnya membidik siapa saja yang ada didepannya. Tapi bidikan itu kalah cepat dengan kebringasan otak Sadem. Simpel saja. Sadem hanya perlu lebih cepat mengambil lumpur dan membidik tepat kearah wajah tepat dibagian kedua mata celeng. Plaaak.....! hanya hitungan detik celeng yang paling ganas itu berubah jadi linglung ,terhuyung -huyung tak tahu harus kemana melangkah karena sudah tak melihat jalan oleh lumpur yang menutup di kedua biji mata. Lalu dengan mudah binatang liar itu diringkus. Sadem tak terluka.

Gaduhnya hari itu, antara yang takut, yang menganggap tontonan seru dan yang terluka menyatu dalam satu suasana. Sampai semuanya berakhir dengan terbantainya 16 babi – babi hutan konyol itu.

Sore itu masih cerah, semua warga keluar , celeng – celeng yang telah dilumpuhkan itu dikumpulkan menjadi satu layaknya tontonan gratis di perempatan   dusun. Pertempuran berakhir ?

Dalam kelegaan semua orang didusun itu , datang seorang perempuan tua dengan membawa sebilah tongkat menghampiri sekumpulan bangkai- bangkai babi hutan yang sengaja dikumpulkan di satu tempat  dan menjadi tontonan warga. Perempuan tua itu meminta jalan mendekat celeng – celeng itu. Di ayunkannya tongkat lalu dipukul- pukulkannya keseekor babi yang diyakini menyerang anaknya. Rupanya perempuan tua itu adalah Biyung Diram, yang tidak lain ibu Sobari, satu dari korban penyerangan babi  - babi hutan konyol itu. Dengan sumpah serapah marah memaki-maki celeng yang sudah mati.

Mengakhiri kisah. Keesokan harinya hari begitu cerah, penduduk mulai berakhtifitas lagi seperti biasa. Tak ada lagi rasa kewatir dengan serangan babi hutan yang meresahkan.

 Dalam ketenangan suasana itu, tiba-tiba seekor  anak babi hutan melintas diantara lalu lalang orang orang. Dibelakangnya berjalan Miarso mengawal anak-anak babi itu. Ia bukan lagi tersesat dan merana. Sekarang mereka sudah punya majikan yang memeliharanya sebagai binatang piaraan yang jinak dan hidup berdampingan dengan manusia tanpa saling menyakiti.