"Ajining Diri Ana Ing Lathi". Sebaris kata itu mendadak viral di dunia permusikan. Gegara sebuah group band " Weird Genius" memasukan kedalam bait sa'ir lagunya yang selainnya itu semua dalam bahasa Inggris yang dinyanyikan oleh Shara Fajira.
Mereka bertanya-tanya, bahasa apa itu ada ditengah lagu berbahasa Inggris. Negara mana yang berbahasa seperti itu ? Sampai kapanpun mereka tidak akan menemukan, karena itu bukan bahasa negara melainkan bahasa daerah.
Musiknya memang modern, tapi rohnya Jawa banget, menurutku. Lebih dari sebaris kata yang terselip didalamnya, dari koreografi dan klip musik tersebut semua muncul dengan unsur adat dan budaya Jawa, lengkap dengan hawa mistisnya. Wayang kulit, kuda lumping, tari Jawa, sampai dengan debusnya.
Lagu yang dibalut dengan iringan musik masa kini yang secara keseluruhan adalah lagu berbahasa Inggris sudah terlanjur memikat orang banyak didunia, terutama pemilik bahasa Inggris itu sendiri, lebih dari itu negara yang tidak berbahasa Inggris ikut juga menyukainya.
Ketika orang bingung dengan bahasa Jawa, saya tersenyum. Kalimat, "Ajining Diri Saka Ing Lathi" memang bukan bahasa sehari-hari, namun sudah aku jumpai sejak aku duduk di Sekolah Dasar. Didinding sekolah, di dinding Balai Desa, bahkan didinding rumah kalimat itu ada.
Kalimat yang bentuknya kata-kata mutiara yang diambil dari sastra Jawa itu sering digunakan karena didalam kalimat tersebut mengandung pesan yang dalam. Kalimat itu memiliki arti, " Harga diri seseorang itu ada di lidah", atau bisa juga diartikan, "Harga diri seseorang itu ada pada ucapan atau mulutnya".
Dalam filosofi, ucapan pada sebuah lidah itu adalah do'a dan sugesti, yang akan direkam alam bawah sadar sebagai bekal menuntun jiwa. Ucapan yang baik akan menghasilkan hal yang baik, dan kata-kata buruk yang diucapkan berkali-kali bisa membawa seseorang mendapat nasib buruk akhirnya.
Pesan dalamnya adalah, jagalah lathi anda ! Harga diri anda bisa hancur atau berjaya dari kata-kata yang dikeluarkannya.
Lidah yang suka berbohong, kata-kata yang tidak bisa dipegang, akan berdampak tidak ada orang yang percaya . Dalam bahasa Jawa ada sebutan yang lebih kasar untuk sifat itu, yaitu, ma'af, "Cocot Bodol".
"Cocot", sama dengan mulut atau lidah, sedangkan "Bodol" , berarti rusak. Rusaknya mulut dalam arti apa yang dituturkannya, lebih parah dari physicly rusak karena luka.
Mereka yang menikmati karya anak bangsa tersebut dianggap terbius. Bahasa Jawa yang dilantunkan dengan warna suara sinden tak pelak mendapat kontraversi dari segelintir orang yang sok tahu dengan bahasa Jawa.
Seorang netisen dari Malaysia mengkritik, katanya, bahasa Jawa yang dilantunkan itu tidak lebih dari sebuah mantra untuk memanggil roh jahat hadir bersamanya. Ia mengaku pernah menjumpai mantra yang kebanyakan dari bahasa Jawa kuno yang mistis tersebut.
Ketika hal itu ditanyakan langsung kepada penciptanya, mereka ketawa. Mereka tidak ambil pusing dengan tuduhan itu, mereka juga tidak mengkritik balik atau membalas dengan omongan-omongan yang keji kepada orang tersebut. Mereka hati-hati untuk berbicara, baginya, ajining diri ana ing lathi.
Karena kebesaran jiwa itulah mungkin, netisen justru minta ma'af kepada masyarakat Jawa atas ucapan yang pernah terlontarkan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar