Jodoh manusia adalah misteri Yang Maha Kuasa. Dimana dan dengan siapa dipertemukan tidak ada seorangpun yang tahu. Manusia hanya bisa merencanakan namun Tuhan yang menentukan. Oleh karena itu manusia tidak bisa memaksakan cinta seseorang untuk bersanding dengan orang tertentu sesuai kehendak yang tidak datang dari hati yang paling dalam , apalagi hanya demi sebuah keuntungan semata, karena cinta sendiri itu tidak matre, melainkan suci, murni dan mulia, tetapi manusia yang telah menodainya, cintapun diperkosa demi hawa nafsunya.
Cinta bisa datang dan pergi, jika ia harus pergi , biarlah dia pergi, tak usah ditangisi. Rencana Tuhan lebih baik daripada recana kita, baik menurut kita belum tentu baik menurut Tuhan, begitu juga sebaliknya. Jodoh pasti akan datang pada suatu saat yang tepat, setiap manusia pasti ada takdirnya, semua sudah diatur oleh Sang Pencipta.
Sakit dan kecewa tentu ada, terutama bagi yang menjadi korban kepalsuan cinta, namun bukan berarti segalanya harus berakhir, janganlah kita mau diperbudak oleh perasaan. Apalagi harus kehilangan segala galanya.
Seperti kisah tidak romantis ini, yaitu kisah antara Tarjan dan Tursinah (Tutur). Ketika kedua sijoli dipertemukan jodohnya saat mereka sama-sama mau melakukan bunuh diri. Sebelumnya, cerita panjang yang pahit masing-masing mereka lalui bak cerita dalam novel.
Tarjan, umur 26 tahun. Ketika itu pemuda yang lugu dan bersahaja itu harus putus asa, kecewa, malu dan bingung campur aduk menjadi satu, semua membawanya hidup dalam kekacauan. Kejadiannya berawal dari beberapa hari menjelang pernikahan, suatu peristiwa harus terjadi yang membuat pernikahan yang dinanti-nanti itu batal.
Segala tetek bengek persiapan acara pernikahan telah dipersiapkan, hari dan tanggal pelaksanaan sudah ditentukan, lebih jauh lagi, undangan sudah terlanjur disebar luaskan, namun, wanita yang mau dinikahi tiba-tiba menghilang entah kemana rimbanya. Dalam persembunyiannya dia memberi kabar lewat telepon, menyuruh untuk membatalkan rencana acara pernikahan, ia menyatakan bahwa ia pergi bersama mantan pacar sebelumnya dan merencanakan akan menikah.
Siapa yang tidak sakit mendapatkan masalah seperti ini, apalagi untuk anak desa seperti Tarjan yang cenderung lugu dan pemalu tinggal dalam masyarakat desa yang masih kental dengan budaya kasak kusuk, gunjing nenggunjing, terutama para ibu-ibu sedang berpetan ria (mencari kutu di rambut orang), berita-berita miring akan menjadi topik yang sangat menarik sebagai pengiring mencari kutunya.
Belum lagi, bagaimana mengatakan kepada sanak keluarga tentang pembatalan ini, Jawaban apa nanti pada tamu yang datang karena sudah terlanjur mendapat undangan pesta.
Kejadian ini benar-benar menjadi sebuah pukulan telak, tidak tahu harus berbuat apa, mau mengadu kepada siapa, mau protes pada siapa. Yang ada hanyalah rasa malu yang tak tertahankan, dalam kondisi seperti ini, bujukan setanlah yang akhirnya menjadi pemenang. Ia dibawanya ke jalan yang sesat, jalan yang dianggap paling praktis untuk mengahiri segalanya, jalan yang paling bijaksana banyak dilakukan orang yang tidak lagi punya harapan hidup, bunuh diri. Solusinya.
Diatas jembatan setinggi 50 meter diatas air yang mengalir deras dari hulu sungai Logawa lereng Gunung Slamet, Purwokerto, sebuah keputusan sudah final. Tinggal satu langkah lagi untuk seorang Tarjan terjun dan segalanya selesai.
Itu menurut pikiran Tarjan. Baginya kematian adalah bagian akhir dari segala-galanya, termasuk segala rasa yang sedang meluluh lantakan hatinya. Wajar kalau dia ingin melakukan. Semua tindakan pasti ada motiv dengan harapan keuntungan yang terkandung didalamnya.
Memandang kebawah jauh sana deras air sungai mengalir diantara batu-batu putih berkejaran. Seekor burung gagak bertengger diam. Tajam tatapannya seperti melihat mangsa. Atau sedang berharap beberapa saat lagi ada satu mayat membusuk untuk santapan malamnya. Ia perlu menepis keraguan, kalau hawa angker dan ngeri itu bisa mempengaruhi niatnya dan ia harus fokus pada rencana semula.
Sekarang yang harus dipikirkan adalah kaki mana yang akan didahulukan untuk melompat. Ini adalah detik-detik perpisahan dengan semua yang ada didunia, teman-teman, orang tua, keluarga dan semua yang disayanginya. Beberapa menit kemudian semua akan berbeda.
Langkah itu tertunda ketika tiba-tiba melihat seorang gadis yang juga akan melakukan hal yang sama, diatas jembatan yang sama tidak jauh dari dirinya berada.
Gadis itu sedang melakukan persiapan untuk meloncat terjun. Namun hal itu gagal dilakukan karena Tarjan tanpa banyak pikir lagi langsung berteriak, "Tunggu....!" ia menghampiri gadis itu dengan secepat kilat menyambar tubuhnya dan menariknya kembali ke atas jembatan.
Gadis itu adalah Tursinah (Tutur), 21 tahun yang sedang hamil 2 bulan karena kecelakaan, namun lelaki yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Lebih dari itu, ia juga diusir oleh orang tuanya lantaran mereka tidak mau ikut menanggung malu akibat aib itu.
Dalam dekapan Tarjan, Tursinah hanya bisa menangis. Setelah pergumulan hebat dilakukan untuk mengangkat kembali tubuhnya yang sudah terkilir.
"Sabar, mba, semua masalah dapat dicarikan solusinya, tapi tidak dengan seperti ini " kata Tarjan selanjutnya.
Gadis cantik bertubuh semampai itu terus menangis, menatap sendu kepada Tarjan. Tarjan masih belum percaya dengan apa yang baru saja dilakukan. Membayangkan seandainya dirinya gagal menyambar tubuhnya dan kmudian melihat gadis itu jatuh dari ketinggia 50 meter dibawah sungai yang penuh batu.
Entah kenapa ada perasaan tak rela jika gadis yang didekapnya itu mati sia-sia, padahal dia sendiri sadar, keberadaannya ditempat yang sama itu mungkin dalam rencana yang sama pula. Dan rencana itu mendadak menjadi buyar, lantaran tanpa disengaja harus terlibat dalam peristiwa nekad yang sudah lebih dulu dilakukan oleh gadis itu. Setidaknya masih ada kesempatan untuk mengatakan bahwa dia tidak sendiri didunia ini.
Angin sore melintas perlahan menghempaskan daun-daun bambu yang tumbuh rimbun disekitar jembatan. Seekor burung gagak terbang menjauh sambil berteriak dengan suaranya yang kas. Seakan kecewa karena gagal menyaksikan tontonan kematian yang biasa tak pernah gagal terjadi di Jembatan itu.
Peristiwa itu menjadi momentum mereka berdua, bahwa semua kejadian ada hikmahnya. Membuktikan bahwa mati, rejeki dan jodoh adalah urusan yang di atas. Manis dan getirnya hidup adalah romantika, juga kadang sebuah ujian untuk mencapai jalan selanjutnya menjadi lebih bahagia. Sadar atau tidak, mereka telah melakukan hal yang luar biasa yang konsekwensinya adalah nyawa, tapi berakhir dengan sebuah pertemuan dengan orang yang bernasib sama..
Mungkin karena nasib yang sama, peristiwa itu membuat mereka jadi akrab, ada yang lain mereka rasakan, kenyamanan, kejujuran dan keterus terangan. Seperti terbangun dari mimpi buruk, mereka kemudian saling berpegangan dan berbincang tentang semua problema yang membutuhkan orang yang tepat untuk mencurahkannya. Dia sudah mendapatkannya.
Tarjanpun merasa tersanjung ketika Tursinah mengatakan " Kau telah menyelamatkan nyawaku, aku tak tahu seandainya tidak ada kamu, "
Semakin lama semakin kebersamaan langkah tercipta, semakin berkembang pula benih-benih cinta yang semakin hari semakin indah, membawa serta mereka untuk move on dari penderitaan masing-masing.
Semua rasa sakit kurasakan hanyalah sekejap, sekarang aku benar-benar mendapatkan gantinya. Apa jadinya jika aku sukses dengan rencanaku yaitu melakukan bunuh diri. Dan aku membawa penderitaan itu sampai mati pada waktu yang tak bertepi.
Ternyata masih ada keindahan yang bisa kurasakan. Setelah sekian lama menganggap semua itu tak akan lagi ada akibat rasa sakit hati yang mendera menutup segalanya.
Tarjan akhirnya memutuskan untuk meminang Tursinah, setelah menceritakan kepada keluarganya masing-masing apa yang telah terjadi.
"Dia satria penyelamat saya. Semua peristiwa telah menuntun ku kepada seorang pemuda pujaan yang sesungguhnya. Dan aku akan bahagia menjalani bahtera hidup disisinya. Mungkin ini yang namanya jodoh, dimana saja bisa bertemu, meski disebuah tempat yang tidak mungkin." Ujar Tursinah.
Demikian, akhirnya merekapun menikah. Tursinah tampak cantik sekali dengan gaun pengantin yang dikenakannya. Tarjan juga bagai seorang pangeran dengan baju ala keratonnya. Semua keluarga dan pengunjung antri berjalan satu persatu menyalaminya, ada juga yang cipika cipiki.
Malam pesta perkawinan yang semarak. Malam pesta perkawinan yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Bahkan air matapun, air mata bahagia. Lagu "Tak Ingin Sendiri" oleh Bunga Citra Lestari mengalun di sound system mengiringi acara pesta.
0 komentar:
Posting Komentar