Batu sebesar kerbau itu dibelah.
Pertama menjadi dua, lalu, keduanya
dibelah lagi menjadi empat dan seterusnya sesuai ukuran yang diperlukan. Satu hari orang tersebut mampu
membelah batu hingga ratusan biji batu yang siap dijual. Katakan, jika dalam
satu hari menghasilkan 200 biji, satu bijinya dijual 2000 rupiah, semuanya
menjadi 400 ribu rupiah. Untuk orang desa, nominal uang tersebut adalah jumlah
sangat besar, bila dibanding dengan kerja yang lain yang bisa dilakukan
juga didesa tersebut.
Beberapa pekerjaan
lain yang dapat dilakukan didesa, diantaranya adalah buruh mencangkul sawah
yang berkisar 30.000 rupiah dilakukan
hanya separuh hari, dari pukul 0.7.00 hingga pukul 12.00 siang, kuli menebang kayu, memotong, dan kemudian
membawanya ke pangkalan dekat jalan raya untuk kemudian dapat diangkut dengan
mobil oleh tengkulak ke pabrik, dengan
upah sekitar 80 ribuan per hari, menjadi
kenek tukang batu bangunan sekitar
70.000 rupiahan.
Dulu, orang desa bisa menderes (menyadap air kembang kelapa
atau aren), skarang sudah tidak lagi, karena pohon kelapa dan aren habis
ditebang guna diambil kayunya.
Sebagai orang desa yang hanya bermodal tenaga,
memang harus mau bekerja kasar kalau tidak ingin lapar.
Didesa juga ada pabrik, barang yang
diolah dipabrik itu juga tidak lepas dari batu, yaitu batu granit. Seorang
investor telah menanamkan modal bekerjasama dengan pemilik bukit batu yang
tidak jauh dari desa. Pabrik tersebut menggergaji batu dengan mesin menjadi keramik batu granit. Karyawannya juga
dari penduduk sekitar, yang dapat masuk tanpa banyak persaratan, yang penting
ada lowongan.
Itulah jenis pekerjaan yang ada di
desa dilereng gunung Selamet, tepatnya di desa Baseh, Kedungbanteng,
Banyumas, jika pembaca ingin mengetahui. Jika kebetulan pembaca ada rencana
untuk hidup disana, mungkin mau menikah dengan orang sana, mencari nafkah
dengan kerja berat harus siap.
Terkecuali yang punya skill tentunya,
orang yang punya skill dapat bekerja sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Seperti para lulusan sekolah, kursus dan
pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Mereka dapat memiliki
pekerjaan yang lebih baik daripada masarakat pada umumnya.
Walau desa di lereng gunung, akses
jalan menuju ke kota sudah bagus. Bagi
yang punya urusan keluar desa
dengan mudah dapat dilakukannya, asal punya kendaraan sebagai alat
transportasinya. Hal itulah yang membedakan
antara anak gunung jaman dulu dengan anak gunung jaman sekarang.
Anak gunung
jaman sekarang sudah banyak yang pandai dan berpengalaman. Mereka banyak yang
sudah mampu mengenyam pendidikan yang setinggi- tingginya, bahkan bagi yang
tidak bersekolah, pergi merantau ke kota besar sampai kota metropolitan.
Pengalaman yang didapat dari perantauan membuat orang desa yang dulu kuper
menjadi gaul. Banyak dari mereka bertemu dengan orang yang berilmu dan mereka
belajar. Belajar tidak harus di sekolah, kan? Banyak orang berhasil belajar
dari kehidupan yang dilalui, sepulangnya dari prantauan, mereka mempraktekan ilmu yang didapatkan dan
menjadi orang berhasil dikampungnya, lalu menjadi contoh yang lainnya.
Dari mereka, pendidikan dan
pengalaman andil membangun desa, hingga desa terpencil di lereng gunung kini
tidak lagi kampungan. Gaya hidup telah ada disana, ada artis populer, pejabat
negara, bahkan prestasi dunia lahir dari desa tersebut. Orang kota jangan
coba-coba kemplitak (sok hebat), jika suatu kali kebetulan menginjak di tanah sana, di
era now, barang kali semua yang hendak ditunjukan disana sudah ada.
Lain dulu lain sekarang. Di jaman dulu, anak gunung identik dengan orang yang tidak pengalaman, terasing dan
terbelakang. Bayangkan, ketika saya kecil dulu, rencana diajak orang tua ke
pasar, senangnya bukan main, semalam tidak bisa tidur menunggu malam berganti
siang. Terbayang naik mobil power buatan Jerman yang khas drngan tulisan yang tertempel dengan kata "Powere
Mobile" yang bagiku sangat besar dan megah bagai kapal mewah Titanik. Hanya ada dua mobil yang mangkal di desa. Sekali ketinggalan dari dua mobil
tersebut, hilanglah mimpi pergi ke kota, karena hanya ada satu rute pulang
balik perjalanan selama satu hari penuh.
Mobil berjalan perlahan karena jalan
penuh lubang, penuh batu dan turun naik.
Jalan belum diaspal. Sekali sopir meleng, ban mobil bisa salip dan mobil
bisa terjungkal ke jurang. Aku melihat diluar kaca jendela pohon-pohon yang
rimbun nampak bergerak. Pergi kekota saat itu sama senangnya dengan bertamasya, karena belum tentu setahun dapat
mendapat kesempatan itu.
Aku dapat melihat keindahan kota yang jarang kulihat
di keseharianku, ada kuda yang menarik dokar, becak beroda tiga yang ditarik
oleh manusia, ada kereta api lewat
dan mobilpun berhenti di pintu kereta menunggu kereta lewat, aku
dengan senang melihatnya, karena semua itu adalah sesuatu yang tidak pernah
ditemui di sebuah desa di lereng gunung. Semua adalah pengalaman yang luar
biasa.
Bicara lebih dalam lagi tentang
kehidupan anak desa jaman dulu, bagaimana cepat menjadi pintar dan pengalaman,
sekolah saja cuma ada tingkat SD, itupun cuma dua kelas, tidak mungkin
melanjutkan ke SMP, karena untuk dapat meneruskan sekolah ke tingkat SMP, harus
pergi ke kota, harus pakai motor. Tidak ada motor yang dapat dibeli dengan
cicilan, saat itu. Seandainya dapat beli motor secara kespun tidak mungkin dapat
menaikinya untuk anak seusia SMP karena medan jalan bagai medan trek motor yang penuh batu dan jlubangan bagai sungai
mati. Barang kali yang dapat melaluinya hanya pengendara motor setara pembalap.
Lebih parah lagi, untuk dapat mencari
berita tentang dunia luar sana. Televisi saja cuma ada satu di balai desa.
Sedangkan balai desa cukup jauh jaraknya dari rumah-rumah penduduk. Saat
jauh-jauh orang datang menonton, tiba-tiba setrom accu nya habis, harus disetrom
(dicharger) dulu ke kota, tiga hari baru bisa menonton lagi.
Belum ada listrik. Itulah yang
menambah kesempurnaan menjadi anak desa lereng gunung Slamet, kala itu. Saya
belajar pakai sentir (lampu minyak tanah) yang jika dibandingkan dengan
lampu listrik setara dengan kapasitas 1
watt lampu boxlamp, tidak sampai 5 watt. Dapat dibayangkan, seberapa terangnya.
Pak Guru menitikan air mata, ketika
suatu kali nilaiku tertinggi di tingkat kecamatan, "Kau telah membuatku
bangga, nak, mampu bersaing dengan anak
kota adalah sebuah keajaiban, tak sia-sia aku mengajarmu, teruskan, nak!"
Kata Pak Lasmoro, sambil menghapus air matanya dengan sapu tangan merah dan
tangan yang satunya lagi mengelus rambutku.
Dia adalah guru SD 2 BASEH,
Kedungbanteng, tahun 1977, mungkin
melihat sarana belajar yang jauh bila dibanding mereka.
Saat itu aku tidak mengerti kenapa
beliau sedih, bagiku hidup yang kujalani semenjak lahir memang sudah begitu.
Lampu sentir adalah lentera hidupku sejak pertama aku dapat membuka mata. Aku
happy-happy saja.
Meskipun demikian, aku juga ikut-ikutan
menitikan air mata. Kenapa nilaiku baik, pak guru menangis? tanyaku dalam
batin.