Minggu, 24 Maret 2019

Aku Anak Lereng Gunung Selamet Yang Ingat Air Mata Pak Guru




Batu sebesar kerbau itu dibelah. Pertama menjadi dua, lalu, keduanya  dibelah lagi menjadi empat dan seterusnya sesuai ukuran yang diperlukan. Satu hari orang tersebut mampu membelah batu hingga ratusan biji batu yang siap dijual. Katakan, jika dalam satu hari menghasilkan 200 biji, satu bijinya dijual 2000 rupiah, semuanya menjadi 400 ribu rupiah. Untuk orang desa, nominal uang tersebut adalah jumlah sangat besar, bila dibanding dengan kerja yang lain yang bisa dilakukan juga  didesa tersebut. 

Beberapa pekerjaan lain yang dapat dilakukan didesa, diantaranya adalah buruh mencangkul sawah yang  berkisar 30.000 rupiah dilakukan hanya separuh hari, dari pukul 0.7.00 hingga pukul 12.00 siang, kuli  menebang kayu, memotong, dan kemudian membawanya ke pangkalan dekat jalan raya untuk kemudian dapat diangkut dengan mobil   oleh tengkulak ke pabrik, dengan upah sekitar 80 ribuan per hari,  menjadi kenek tukang  batu bangunan sekitar 70.000 rupiahan. 

Dulu, orang desa bisa menderes (menyadap air kembang kelapa atau aren), skarang sudah tidak lagi, karena pohon kelapa dan aren habis ditebang guna diambil kayunya. 

Sebagai orang desa yang hanya bermodal tenaga, memang harus mau bekerja kasar kalau tidak ingin lapar.

Didesa juga ada pabrik, barang yang diolah dipabrik itu juga tidak lepas dari batu, yaitu batu granit. Seorang investor telah menanamkan modal bekerjasama dengan pemilik bukit batu yang tidak jauh dari desa. Pabrik tersebut menggergaji batu dengan mesin  menjadi keramik batu granit. Karyawannya juga dari penduduk sekitar, yang dapat masuk tanpa banyak persaratan, yang penting ada lowongan.

Itulah jenis pekerjaan yang ada di desa dilereng gunung Selamet, tepatnya di desa Baseh, Kedungbanteng, Banyumas,  jika pembaca  ingin mengetahui. Jika kebetulan pembaca ada rencana untuk hidup disana, mungkin mau menikah dengan orang sana, mencari nafkah dengan kerja berat harus siap.

Terkecuali yang punya skill tentunya, orang yang punya skill dapat bekerja sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Seperti  para lulusan sekolah, kursus dan pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Mereka dapat memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada masarakat pada umumnya.

Walau desa di lereng gunung, akses jalan menuju ke kota sudah bagus. Bagi  yang punya urusan keluar desa  dengan mudah dapat dilakukannya, asal punya kendaraan sebagai alat transportasinya. Hal itulah yang membedakan  antara anak gunung jaman dulu dengan anak gunung jaman sekarang. 

Anak gunung jaman sekarang sudah banyak yang pandai dan berpengalaman. Mereka banyak yang sudah mampu mengenyam pendidikan yang setinggi- tingginya, bahkan bagi yang tidak bersekolah, pergi merantau ke kota besar sampai kota metropolitan. Pengalaman yang didapat dari perantauan membuat orang desa yang dulu kuper menjadi gaul. Banyak dari mereka bertemu dengan orang yang berilmu dan mereka belajar. Belajar tidak harus di sekolah, kan? Banyak orang berhasil belajar dari kehidupan yang dilalui, sepulangnya dari prantauan,  mereka mempraktekan ilmu yang didapatkan dan menjadi orang berhasil dikampungnya, lalu menjadi contoh yang lainnya.

Dari mereka, pendidikan dan pengalaman andil membangun desa, hingga desa terpencil di lereng gunung kini tidak lagi kampungan. Gaya hidup telah ada disana, ada artis populer, pejabat negara, bahkan prestasi dunia lahir dari desa tersebut. Orang kota jangan coba-coba kemplitak (sok hebat), jika suatu kali kebetulan menginjak di tanah sana, di era now, barang kali semua yang hendak ditunjukan disana sudah ada.

Lain dulu lain sekarang. Di jaman dulu, anak gunung identik dengan orang yang tidak pengalaman, terasing dan terbelakang. Bayangkan, ketika saya kecil dulu, rencana diajak orang tua ke pasar, senangnya bukan main, semalam tidak bisa tidur menunggu malam berganti siang. Terbayang naik mobil power buatan Jerman yang khas drngan tulisan yang tertempel dengan kata "Powere Mobile" yang bagiku sangat besar dan megah bagai kapal mewah Titanik. Hanya ada dua mobil yang mangkal di desa. Sekali ketinggalan dari dua mobil tersebut, hilanglah mimpi pergi ke kota, karena hanya ada satu rute pulang balik perjalanan selama satu hari penuh.

Mobil berjalan perlahan karena jalan penuh lubang, penuh batu dan turun naik.  Jalan belum diaspal. Sekali sopir meleng, ban mobil bisa salip dan mobil bisa terjungkal ke jurang. Aku melihat diluar kaca jendela pohon-pohon yang rimbun nampak bergerak. Pergi kekota saat itu sama senangnya dengan  bertamasya, karena belum tentu setahun dapat mendapat kesempatan itu. 

Aku dapat melihat keindahan kota yang jarang kulihat di keseharianku, ada kuda yang menarik dokar, becak beroda tiga yang ditarik oleh manusia, ada kereta api lewat  dan  mobilpun berhenti  di pintu kereta menunggu kereta lewat, aku dengan senang melihatnya, karena semua itu adalah sesuatu yang tidak pernah ditemui di sebuah desa di lereng gunung. Semua adalah pengalaman yang luar biasa.

Bicara lebih dalam lagi tentang kehidupan anak desa jaman dulu, bagaimana cepat menjadi pintar dan pengalaman, sekolah saja cuma ada tingkat SD, itupun cuma dua kelas, tidak mungkin melanjutkan ke SMP, karena untuk dapat meneruskan sekolah ke tingkat SMP, harus pergi ke kota, harus pakai motor. Tidak ada motor yang dapat dibeli dengan cicilan, saat itu. Seandainya dapat beli motor secara kespun tidak mungkin dapat menaikinya untuk anak seusia SMP karena medan jalan bagai medan trek motor  yang penuh batu dan jlubangan bagai sungai mati. Barang kali yang dapat melaluinya hanya pengendara motor setara  pembalap.

Lebih parah lagi, untuk dapat mencari berita tentang dunia luar sana. Televisi saja cuma ada satu di balai desa. Sedangkan balai desa cukup jauh jaraknya dari rumah-rumah penduduk. Saat jauh-jauh orang datang menonton, tiba-tiba setrom accu nya habis, harus disetrom (dicharger) dulu ke kota, tiga hari baru bisa menonton lagi.

Belum ada listrik. Itulah yang menambah kesempurnaan menjadi anak desa lereng gunung Slamet, kala itu. Saya belajar pakai sentir (lampu minyak tanah) yang jika dibandingkan dengan lampu  listrik setara dengan kapasitas 1 watt lampu boxlamp, tidak sampai 5 watt. Dapat dibayangkan, seberapa terangnya.

Pak Guru menitikan air mata, ketika suatu kali nilaiku tertinggi di tingkat kecamatan, "Kau telah membuatku bangga, nak,  mampu bersaing dengan anak kota adalah sebuah keajaiban, tak sia-sia aku mengajarmu, teruskan, nak!" Kata Pak Lasmoro, sambil menghapus air matanya dengan sapu tangan merah dan tangan yang satunya lagi mengelus rambutku. 

Dia adalah guru SD 2 BASEH, Kedungbanteng, tahun 1977, mungkin  melihat sarana belajar yang jauh bila dibanding mereka.

Saat itu aku tidak mengerti kenapa beliau sedih, bagiku hidup yang kujalani semenjak lahir memang sudah begitu. Lampu sentir adalah lentera hidupku sejak pertama aku dapat membuka mata. Aku happy-happy saja.

Meskipun demikian, aku juga ikut-ikutan menitikan air mata. Kenapa nilaiku baik, pak guru menangis? tanyaku dalam batin.

0 komentar:

Posting Komentar