Sejak adanya penangkapan burung besar-besaran oleh para pemikat burung di kebun-kebun desa di sekitar lereng Gunung Selamet, kini burung Pleci Gunung Selamet sudah tidak ada lagi.
Jalan-jalan mejelajahi kebun, sudah tidak lagi terdengar ciak-miak burung tersebut atau sekedar terlihat berkejar-kejaran diantara sesama koloninya. Biasanya pada jam-jam tersebut, sekitar jam 09.00 pagi, mereka sedang ramai-ramainya berbondong-bondong datang dengan jumlah ratusan dari setiap koloninya. Mereka datang dan pergi, lalu disusul berganti dengan koloni yang lain. Begitu seterusnya seiring ranumnya bunga kopi dan mekarnya bunga kemaduan.
Pleci disini, yaitu pleci yang dikenal dengan nama pleci GS (Gunung Selamet), yaitu dari genus pleci dada kuning atau dakun ( Zosterops Flavus) yang paling dicari oleh penggemar burung pleci.
Burung kecil berkaca mata ini memiliki bulu dada yang berwarna kuning, punggung hijau kekuning kuningan, iris mata coklat atau putih, ujung bulu sayap dan ekor berwarna gelap. Dari berbagai jenis pleci, pleci dakun memiliki suara yang lantang dan nyaring. Disamping itu, pleci jenis ini tergolong lebih mudah dijinakan dan dilatih. Oleh karena itu, tidak heran jika genus ini begitu dicari dan sangat laku di pasaran.
Harga bakalan di pasaran berkisar Rp 60.000 hingga Rp 70.000, yang sudah jadi berkisar Rp 100.000 hingga Rp 1000.000.
Langkanya burung yang mulai digemari sekitar 2010 ini, dipicu dari kepandaian pemikat burung yang mendadak meningkat akhir-akhir ini. Kalau dulu, orang memikat burung hanya dengan pulut ( getah perekat) yang diletakan dekat bambu penyadap badeg (air bunga kelapa bahan baku gula merah), lalu si pemikat menunggu sampai ada burung pleci datang menghampiri, bermaksud mau menghisap badeg, namun kaki ternyata menginjak pulut. Burung plecipun tak dapat terbang sampai pemikat mengambilnya.
Satu hari masa penangkapan, mungkin hasil yang didapat tidak lebih dari 3 hingga 5 ekor saja. Itupun, keesokan harinya pemikat belum tentu berangkat lagi, karena harus menjualnya dulu ke pasar.
Jumlah penangkapan yang wajar mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap keseimbangan alam, khususnya alam burung pleci, tentunya. Menginjak tahun 2010 an, mulai ditemukan berbagai tips dan trik memikat pleci yang lebih baik lagi oleh kecerdikan para pemikat dalam berinovasi, dari dengan menggunakan jaring hingga burung hantu.
Hasilnya dalam satu hari mampu memikat ratusan burung pleci yang terus diedarkan ke seluruh plosok negeri, bahkan mungkin luar negeri. Jika satu hari berkurang 100 ekor, berapa jika kurun waktu 5 tahun saja? Belum jumlah pemikat yang tidak mungkin cuma satu orang. Anda dapat menghitungnya sendiri.
Andaikan masih ada yang tertinggal, seperti pengakuan pemikat yang saya tanya, konon kelangkaan pleci di kebun bukan berarti mereka punah, akan tetapi mereka pindah ke tempat yang lebih jauh, masuk kehutan yang lebih dalam lagi.
Boleh saja mereka pindah ke hutan yang lebih dalam lagi, permintaan yang besar dari konsumen yang menggiurkan, bukan tidak mungkin mereka akan terus mengejar hingga sampai ujung persembunyian. Oh My God! tak dapat dibayangkan jika burung imut kebanggaan Gunung Selamet itu benar-benar punah.
0 komentar:
Posting Komentar