Abraham Ortelius, Benua-benua Pernah Menyatu
Abraham Ortelius, lahir 14 April 1527, meninggal 28 Juni 1596 pada umur 71 tahun. Ortelius dilahirkan di kota Antwerpen, yang saat itu berada di Habsburg Belanda (Belgia modern). Keluarga Orthellius berasal dari Augsburg, sebuah kota kekaisaran Romawi Suci.
Pada 1535, keluarga itu jatuh di bawah kecurigaan Protestantisme. Setelah kematian ayah Ortelius, pamannya Jacobus van Meteren kembali dari pengasingan di Inggris untuk mengurus Ortelius. Abraham tetap dekat dengan sepupunya Emanuel van Meteren yang kemudian pindah ke London.
Pada tahun 1575 ia diangkat sebagai ahli geografi ke raja Spanyol, Philip II, atas rekomendasi Arias Montanus, yang menjamin ortodoksinya.
Dia bepergian secara luas di Eropa, dan secara khusus dikenal telah melakukan perjalanan di seluruh Provinsi Tujuh Belas, di Jerman bagian selatan, barat, utara, dan timur (misalnya, 1560, 1575–1576); Prancis (1559–1560); Inggris dan Irlandia (1576), dan Italia (1578, dan mungkin dua atau tiga kali antara 1550 dan 1558).
Abraham Ortelius, adalah satu dari ilmuwan kartografer tapi juga ahli geografi dunia yang terkenal dengan pembuatan atlas modern pertama di dunia. Karyanya dikenal dengan nama, Theatrum Orbis Terrarum yang artinya, Teater Dunia, pada tahun 1570 diyakini sebagai penanda era kartografi di abad pertengahan pada Masa Keemasan Belanda.
Google doodle, May 20, 2018 memperkenalkan Ortelius' endeavours in particular the Theatrum Orbis Terrarum.
Disamping penemuannya dibidang atlas dunia, dalam ilmu geografi ia juga dikenal dengan satu dari orang yang mencetuskan sebuah hipotesa bahwa benua-benua didunia pernah menyatu sebelum akhirnya mengalami pergeseran dan dibatasi lautan sebagaimana posisinya saat ini.
Jika hipotesa itu benar, dan peristiwa pergeseran senantiasa ada, bagaimana nasib daratan-daratan di masa depan, tenggelamkah dan permukaan bumi hanya ada air.
Dalam konsep pergeseran sendiri, diperkuat oleh Alfred L Wegener dalam sebuah buku yang berjudul The Origin of Continent and Oceans (1912). yaitu, benua tersusun dari batuan sial yang terapung pada batuan sima yang lebih besar berat jenisnya. Pergerakan benua itu menuju khatulistiwa dan juga ke arah barat.
Dibumi, ada satu benua raksasa yang disebur Pangaea yang berarti, semua daratan dikelilingi oleh Panthalassa (semua lautan). Pangaea pecah menjadi benua-benua yang lebih kecil yang kemudian bergerak menuju ke tempatnya seperti yang terbentuk sekarang.
Konsep ini ada yang menerima tapi juga tdak sedikit yang menolak. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana suatu masa benua yang besar dapat mengapung di atas bumi yang padat.
Dasar para ilmuwan yang menolak adalah, bahwa gaya yang bekerja pada bumi adalah gaya vertikal. Gaya vertikal ini tidak akan mampu membuat benua yang besar itu pecah. Perlu bukti yang meyakinkan.
Wegener mengumpulkan bukti berupa kesamaan garis pantai, persamaan fosil, struktur dan batuan, tapi bukti itu tetap saja tidak mampu menjelaskan para ahli bahwa gaya utama yang bekerja adalah gaya lateral bukan gaya vertikal.
Tak memunafiqan, kita bisa tahu tentang dunia tidak lepas dari kerja keras para ilmuwan yang dengan telaten dan tekun mengadakan penyelidikan hingga akhirnya menghasilkan penemuan-penemuan yang berguna bagi ilmu pengetahuan.
Penemuan-penemuan yang telah terbukti itu semua juga berawal dari dugaan (hypotesa), sebelum kemudian dibenarkan sampai akhirnya dipatenkan. Hypotesa-hypotesa yang belum terbukti mungkin ada yang bisa menerima dan ada juga yang menolak, bahkan oleh para sesama ilmuwan sendiri. Tapi, semua itu pada intinya adalah proses untuk menuju kesana.