Adat dan kepercayaan yang sudah dilakukan turun menurun dari kakek nenek hingga sekarang seakan sudah menjadi warisan leluhur yang tidak mudah untuk dihilangkan, meskipun dijaman globalisasi sudah tidak cocok lagi.
Sebagai orang Jawa tidak lepas dari pengaruh budaya, paham, kepercayaan Jawa, termasuk keilmuan yang bersumber dari suku Jawa yang disebut dengan istilah , Kejawen, dengan kitabnya yang bernama Primbon Jawa Dan Bantal Jemur.
Kitab tersebut sudah jarang ditemukan, sekali orang menyimpannya, layaknya seperti menyimpan jimat yang langka dan bersifat pusaka. Meskipun kitab itu sudah jarang ditemukan, orang jawa tulen sudah menyimpannya diluar kepala.
Orang Jawa sejati hingga sekarang belum ada yang berani meninggalka semua isi yang terkandung didalamnya. Diantaranya tentang petunjuk hidup sebagai orang Jawa agar selamat yang meliputi aman, tentram dan bahagia. Barang siapa yang ngeyel (banyak protes) akan merasakan akibatnya.
Tidak dipungkiri, penyebaran agama Islam yang pesat di Pulau Jawa sudah mengubah masyarakat Jawa seratus delapan puluh derajat dari masyarakat yang dulunya beragama hindu dan buda menjadi mayoritas beragama Islam.
Secara agamis, ya. Tapi, jangan buru-buru mengatakan secara syariat mereka hidup murni berpatokan dengan hukum Islam dengan seutuhnya.
Orang Jawa yang nJawani tidak akan berani melepas patokan hukum kejawen, sebab mereka takut kualat.
Ingat-ingat ini, saya sendiri lahir dijaman modern, saya juga termasuk orang yang menertawakan falsafah itu, jelek-jelek saya pernah dikirim ke pesantren untuk belajar hukum dan ajaran Islam. Dan saya juga banyak menemui patokan hukum kejawen yang tidak sepaham dengan hukum Islam.
Tadinya saya juga ikut tertawa, ketika orang tertawa saat kebetulan membaca sebaris kalimat yang saya tidak tahu siapa penulisnya. Kalimat itu berbunyi, "Orang Jawa yang tidak menganut patokan Ilmu Jawa atau Kejawen akan kualat.
Setiap aku pulang kerumah dari pesantren, saya mendebat paman saya yang tidak mau meninggalkan kejawen, padahal paman saya lulusan pesantren juga. Itu yang saya tidak habis mengerti, bahkan paman saya sudah dinobatkan oleh masyarakat sebagai imam masjid dan mendapat gelar"kyai" dikampungnya.
Saya berpikir, apakah guru paman saya tidak mengajarinya, bahwa Ilmu Kejawennya itu bertentangan dengan agamanya.
Karena aku tidak ingin dibilang ngeyel, aku tak lagi mendesak pamanku untuk memberi jawaban tertentu. Bagiku itu tidak terlalu penting.
Seiring kehidupan yang terus berjalan, Masya Allah!, aku menemukan jawaban itu. Jawaban yang tidak kuperoleh dari kata-kata. Tapi, dari kehidupan.
Bermula dari sebuah kejadian yang saya saksikan dengan mata, kepala dan perasaanku sendiri.
Begini ceritanya, pada suatu hari seorang pemuda tertarik dengan seorang gadis, dia memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Sekaligus juga minta doa restu dan persetujuan dari orang tua atas rencana meminang gadis yang dicintainya tersebut.
Sebagai orang tua, mereka setuju saja, apa lagi mereka kenal dengan gadis yang akan dipinang merupakan gadis baik-baik.
Hanya satu syarat yang diminta orang tua, dalam tatanan Jawa harus ada perhitungan terlebih dahulu, ada tidaknya kecocokan diantara calon pasangan laki-laki dengan calon pasangan perempuan, yaitu dengan memadukan jumlah weton (hari lahir) nya masing-masing. Jumlah yang ditemukan nanti akan memberi petunjuk baik tidaknya jika terjadi pernikahan antara kedua pasangan tersebut.
Dan perhitungan Jawapun dilakukan.
Sayang sekali, hitungan kejawen yang dilakukan menghasilkan angka yang buruk. Jika memaksa melakukannya, hal buruk bakal terjadi paska pernikahan nanti. Bahkan hal buruk itu dapat berupa kematian diantara keduanya.
Cinta yang sudah terlanjur ternyata tak dapat dibendung. Sebagai penganut agama, perhitungan dicoba dengan mengacu pada perhitungan agama.
Dalam perhitungan menurut agama menyatakan tidak ada masyalah. Mati, jodoh dan rejeki itu rahasia Allah, tidak ada hitung-hitung hari kelahiran yang menyebabkan itu semua.
Akhirnya, pernikahan diputuskan untuk tetap dilaksanankan. Mana yang lebih baik dari agama dan adat. Dengan disaksikan juga para ustad dan keyai, bahkan penghulunya sendiri seorang santri.
"Jangan sampai ada keraguan, percayalah, semua akan baik-baik saja". Kata seorang yang ikut menyaksikan acara itu.
Ijab qobul dilakukan. Resmilah pasangan itu menjadi suami istri.
Selang beberapa lama bahtera hidup mereka dijalankan, sebuah kecelakaan terjadi pada pasangan laki-laki, hingga membawa pada sebuah kematiannya.
Mati, jodoh dan rejeki. Ketiganya adalah ketentuannya. Mungkin ini juga ketentuan Tuhan, akan jodoh dan kematiannya. Wallahu A'lam.
Peristiwa serupa bukanlah satu-satunya kejadian. Akan tetapi, setip peristiwa yang terjadi selalu mengingatkan aku pada Ilmu Kejawen. Dimana orang Jawa memiliki patokan leluhur yang mengatur tata kehidupan Kejawen untuk dianut anak cucunya.
Bagaimana dengan selain orang Jawa yang tidak percaya?
Seperti layaknya membuat keris, sang empu terlebih dahulu melakukan tirakat dan ritual untuk sang keris, hingga keris menjadi senjata bukan sekedar tajam namun bertuah.
Begitu juga leluhur dalam menyusun aturan, ini menyangkut tuntunan hidup untuk anak cucu dan krturunannya kelak yang berarti mencakup semua orang Jawa , mungkin lebih dari sekedar tirakat, akan tetapi juga semacam perjanjian dan penitipan ghaib yang diikrarkan yang senantiasa dijaga baik-baik oleh pihak yang dititipi yaitu makhluk ghoib, sehingga setiap pelanggaran menjadi tanggung jawab mereka juga untuk menegurnya. Peneguran dan sangsi secara ghaib itu yang mereka sebut kualat.
Sayangnya, hanya beliau yang dapat mengakhiri perjanjian tersebut, sedangkan beliau sudah tiada.
Itulah kenapa hukum itu tidak berlaku bagi suku lain selain suku Jawa. Inikah, karma. Karma baik bagi yang mentaatinya dan karma buruk bagi yang mengingkarinya.
Hukum dan peraturan yang bersumber dari adat dan budaya adalah kepercayaan dari pemilik adat itu sendiri. Semua kembali kepada kepercayaan mereka. Apa yang dilakukan oleh leluhur nenek moyang kepada keturunannya pasti tidak lain demi kebaikan juga.