Hallo guys, apakah kalian suka menulis? Bagi yang suka menulis, menulis adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Menulis juga merupakan salah satu cara melepas unek-unek, curhat dan juga berbagi pengalaman, bahkan ilmu yang sangat berguna bagi orang lain yang membacanya.
Menulis Di Jaman Jadul
Era tahun 1984-an, para penulis profesional menyusun buku menjadi pekerjaan dan karir, mereka mendapatkan penghasilan dari penjualan buku atau royalti dari perusahaan penerbit buku yang menerbitkan tulisannya. Penulis dapat diibaratkan sebagai artis dan penerbit buku sebagai produsernya. Ketika penjualan buku meledak menjadi best seller, merekapun mendapatkan imbalan yang berlipat.
Meskipun demikian, menjadi penulis profesional tidak mudah, mereka bekerja keras dan pantang menyerah terus mencurahkan karya-karyanya hingga dikenal para pembacanya. Karya-karya mereka tersebar di toko-toko buku, majalah, tabloid dan penerbitan-penerbitan umum yang lain. Mereka menjadi penulis faforit dihati penggemarnya. Jika sudah begitu, karya-karyanya akan selalu ditunggu untuk penerbitan yang selanjutnya. Tidak jarang karya-karya mereka karena kepopulerannya akhirnya dijadikan sebuah film.
Sebagian mereka mungkin masih ada yang kita kenal hingga sekarang, mereka juga masuk dalam jajaran sastrawan Indonesia era 80-90an dengan roman percintaannya, seperti Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Mira w dan yang begitu melekat pada anak muda dijamannya adalan penulis novel "Lupus" yaitu Hilman Hariwijaya, karena merupakan satu dari novel yang berhasil sukses yang difilmkan. Bagi yang sudah remaja di era itu pasti kenal dengan "Lupus" yang dibintangi oleh Riant Hidayat.
Dari novel-novel yang termasuk bergaya baru, yaitu bergaya pop menyulut anak-anak muda di jaman itu menjadi gemar membaca khususnya karya sastra yang pada akhirnya membawa mereka pada bacaan yang lebih berat.
Bacaan-bacaan berat seperti karya ilmiah, politik, kenegaraan dan bacaan serius lainnya ditulis oleh penulis dibidangnya. Mereka adalah para penyusun buku yang dalam pengerjaannya perlu banyak referensi dan sumber-sumber yang jelas yang dapat dipertanggung jawabkan.
Tingkat kepercayaan sebagai penulis disini sangat diperhitungkan. Hal ini menyangkut tentang sumberdaya manusia. Tak heran penulis pada jaman itu berlatar pendidikan tinggi, meskipun tidak semuanya, ada juga yang cuma lulusan smp dan smu, tapi dapat dihitung dengan jari.
Pertanyaannya adalah, dimana anak-anak seperti saya? Maksudku, belum lulus sekolah tinggi, tapi sudah memiliki kegemaran menulis. Kira-kira apa yang dilakukan diera jadul itu?
Rupanya ada juga pelampiasan hasrat dibidang tersebut disana. Bagi jiwa-jiwa muda yang suka menulis dengan segala kelabilan emosinya masih dapat menuangkan perasaannya di media-media yang sudah ada dijaman itu seperti majalah, tabloid, koran, buletin sebagia media kertas dan juga media elektronika seperti radio. Masih terlalu berat untuk media elektronik televisi yang hanya ada satu cenel milik pemerintah yang lebih suka menayangkan Kelompencapir (Kelompok Pembaca dan Pemirsa) yang isinya hanya masalah pertanian. Ingin menonton film Indonesia saja adanya hanya pada malam minggu, itupun baru diputar setelah Dunia Dalam Berita, jam 10.00 malam.
Penulis yang bermodalkan hobi-hobian saja ternyata dapat berkarya di jaman itu, namaun dengan langkah-langkah yang harus dilalui, langkah-langkah yang membutuhkan kerja keras. Penulis terlebih dahulu mengetik karya tulisnya dengan mesin ketik manual (bukan komputer) dimana huruf-huruf dari besi diketrokan dilembaran kertas dan mengecap disana. Saat terjadi kesalahan menulis kata harus dihapus dengan tipex (cairan penghapus tinta), jika kesalahan terlalu banyak, maka lebih baik lembaran kertas dicabut, diremas, lalu dilempar ke kotak sampah.
Tulisan dapat diselesaikan, akan tetapi kotak sampah juga penuh dengan gulungan kertas mubah. Tulisan yang diperlukan sudah ditentukan dalam jumlah lembar minimal yang sudah ditentukan. Setelah selesai karya tulis dikirimkan ke alamat redaksi penerbit sebuah media. Disana tulisan diseleksi. Dari semua penulis-penulis yang telah mengirimkan tulisannya, berapa jumlahnya tidak tahu, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan, yang pasti banyak sekali.
Bagi yang terpilih seleksi, karyanya akan ditayangkan atau diterbitkan. Baru setelah ini terjadi penulis yang soliter dan melankoli ini merasa senang sekali. Ada kepuasan didalam batin melihat tulisannya banyak dibaca orang, seakan-akan mereka semua sedang mendengar curhatnya, hidup yang sedang sepi tak lagi merasa sendiri. Keterkaitan antara penulis dan pembaca ada didunia tersendiri yang tidak dimiliki orang lain.
Bukan sekedar kepuasan batin yang didapatkan, bagi penulis yang karya tulisnya di terbitkan akan mendapatkan honor sebagai upah jerih payahnya, yaitu berupa beberapa uang yang dikirimkan lewat kantor pos juga. Penerima kiriman akan mendapatkan secarik kertas yang dititipkan di balai desa, isinya sebuah berita untuk datang ke kantor pos guna mengambil kiriman uang dari sebuah media penerbit. Berapa honor yang diterima cukup buat uang jajan dan mengganti kertas ketik. Tetapi uang tidak dapat mengalahkan kepuasan batin yang didapat untuk semua itu. Itulah pengalaman menulis di jaman jadul.
Menulis Di Jaman Now
Sepertinya hobi, pekerjaan dan kegiatan dijaman apapun kalau ingin berhasil tetap saja harus dilakukan dengan serius dan kerja keras. Hanya saja, apa yang ada di jaman dulu (jadul) pasti sudah berbeda dibandingkan dengan jaman sekarang, itu pasti, karena manusia yang berakhal pikiran selalu berpikir untuk mencipta hal-hal baru hingga mampu merubah dunia, tujuannya adalah menciptakan alat untuk meringankan pekerjaan dari yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin. Tidak hanya sekedar waktu yang berubah, tetapi juga teknologi.
Kembali kepada cerita menulis di jaman jadul yang dilakukan dengan mesin ketik manual yang terdengar lucu, kalau tidak dikatakan menyedihkan. Media baca yang paling gampang diakses terbatas hanya dari buku.
Bandingkan dengan jaman now, telah diciptakan komputer yang dapat digunakan untuk mengetik, kata yang salah ketik dihapus dalam satu klik, lembaran menjadi putih bersih kembali tak sedikitpun tertinggal noda, apalagi lecek.
Dijaman now ada internet. Sebuah media yang memungkinkan semua informasi ada dan dapat di akses kapanpun juga. Sebuah media yang juga memungkinkan kita memberikan informasi kepada orang lain, sekaligus jawaban, dimana hobi menulis disalurkan dengan mudah di jaman now.
Jika di jaman jadul kita menggantungkan sebuah media yang dikelola dari sebuah perusahaan untuk unek-unek/tulisan yang susah payah kita buat dapat dibagikan kepada orang, jika diterima, jika tidak, segudang informasi dan tulisan yang menarik dibuang kembali sia-sia di tong sampah.
Di jaman now, bahkan kita dapat membuat media sendiri dalam hitungan menit dan langsung dapat menerbitkannya. Karena semua fasilitas ada disana, di dalam internet yang sekarang ada dilayar komputer anda.
Penulis amatir dan bahkan menulis berdasarkan hanya sebuah hobi dapat mencurahkan hobi menulisnya dalam sebuah blog yang dibuat tidak lebih dari 5 menit dan langsung tersebar ke penjuru dunia. Kebaikan tulisan yang anda bagikan membuat banyak dibaca, blogpun menjadi ramai oleh pengunjung dan penghasilanpun dengan sendirinya akan mengikuti dari iklan perusahaan-perusahaan yang diiklankannya.
Dengan internet, hobi menulis dapat membuat buku tanpa harus terlebih dahulu menggalang kerja sama atau membuat percetakan buku untuk dapat menjual hasil bukunya tersebut, karena bentuk buku disini bukan tumpukan kertas, akan tetapi buku elektronik yang dapat dibaca tanpa mengurangi isi dari buku tersebut.
Cara menjual buku tidak harus dibawa dengan gerobak didorong ke sana ke mari. Cukup dengan duduk di depan komputer anda menjajaganya ke seluruh dunia, karena anda menjualnya dengan secara online.
Itulah yang tidak sama untuk hobi menulis di jaman jadul dengan hobi menulis di jaman now.
Menulis Di Jaman Jadul
Era tahun 1984-an, para penulis profesional menyusun buku menjadi pekerjaan dan karir, mereka mendapatkan penghasilan dari penjualan buku atau royalti dari perusahaan penerbit buku yang menerbitkan tulisannya. Penulis dapat diibaratkan sebagai artis dan penerbit buku sebagai produsernya. Ketika penjualan buku meledak menjadi best seller, merekapun mendapatkan imbalan yang berlipat.
Meskipun demikian, menjadi penulis profesional tidak mudah, mereka bekerja keras dan pantang menyerah terus mencurahkan karya-karyanya hingga dikenal para pembacanya. Karya-karya mereka tersebar di toko-toko buku, majalah, tabloid dan penerbitan-penerbitan umum yang lain. Mereka menjadi penulis faforit dihati penggemarnya. Jika sudah begitu, karya-karyanya akan selalu ditunggu untuk penerbitan yang selanjutnya. Tidak jarang karya-karya mereka karena kepopulerannya akhirnya dijadikan sebuah film.
Sebagian mereka mungkin masih ada yang kita kenal hingga sekarang, mereka juga masuk dalam jajaran sastrawan Indonesia era 80-90an dengan roman percintaannya, seperti Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Mira w dan yang begitu melekat pada anak muda dijamannya adalan penulis novel "Lupus" yaitu Hilman Hariwijaya, karena merupakan satu dari novel yang berhasil sukses yang difilmkan. Bagi yang sudah remaja di era itu pasti kenal dengan "Lupus" yang dibintangi oleh Riant Hidayat.
Dari novel-novel yang termasuk bergaya baru, yaitu bergaya pop menyulut anak-anak muda di jaman itu menjadi gemar membaca khususnya karya sastra yang pada akhirnya membawa mereka pada bacaan yang lebih berat.
Bacaan-bacaan berat seperti karya ilmiah, politik, kenegaraan dan bacaan serius lainnya ditulis oleh penulis dibidangnya. Mereka adalah para penyusun buku yang dalam pengerjaannya perlu banyak referensi dan sumber-sumber yang jelas yang dapat dipertanggung jawabkan.
Tingkat kepercayaan sebagai penulis disini sangat diperhitungkan. Hal ini menyangkut tentang sumberdaya manusia. Tak heran penulis pada jaman itu berlatar pendidikan tinggi, meskipun tidak semuanya, ada juga yang cuma lulusan smp dan smu, tapi dapat dihitung dengan jari.
Pertanyaannya adalah, dimana anak-anak seperti saya? Maksudku, belum lulus sekolah tinggi, tapi sudah memiliki kegemaran menulis. Kira-kira apa yang dilakukan diera jadul itu?
Rupanya ada juga pelampiasan hasrat dibidang tersebut disana. Bagi jiwa-jiwa muda yang suka menulis dengan segala kelabilan emosinya masih dapat menuangkan perasaannya di media-media yang sudah ada dijaman itu seperti majalah, tabloid, koran, buletin sebagia media kertas dan juga media elektronika seperti radio. Masih terlalu berat untuk media elektronik televisi yang hanya ada satu cenel milik pemerintah yang lebih suka menayangkan Kelompencapir (Kelompok Pembaca dan Pemirsa) yang isinya hanya masalah pertanian. Ingin menonton film Indonesia saja adanya hanya pada malam minggu, itupun baru diputar setelah Dunia Dalam Berita, jam 10.00 malam.
Penulis yang bermodalkan hobi-hobian saja ternyata dapat berkarya di jaman itu, namaun dengan langkah-langkah yang harus dilalui, langkah-langkah yang membutuhkan kerja keras. Penulis terlebih dahulu mengetik karya tulisnya dengan mesin ketik manual (bukan komputer) dimana huruf-huruf dari besi diketrokan dilembaran kertas dan mengecap disana. Saat terjadi kesalahan menulis kata harus dihapus dengan tipex (cairan penghapus tinta), jika kesalahan terlalu banyak, maka lebih baik lembaran kertas dicabut, diremas, lalu dilempar ke kotak sampah.
Tulisan dapat diselesaikan, akan tetapi kotak sampah juga penuh dengan gulungan kertas mubah. Tulisan yang diperlukan sudah ditentukan dalam jumlah lembar minimal yang sudah ditentukan. Setelah selesai karya tulis dikirimkan ke alamat redaksi penerbit sebuah media. Disana tulisan diseleksi. Dari semua penulis-penulis yang telah mengirimkan tulisannya, berapa jumlahnya tidak tahu, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan, yang pasti banyak sekali.
Bagi yang terpilih seleksi, karyanya akan ditayangkan atau diterbitkan. Baru setelah ini terjadi penulis yang soliter dan melankoli ini merasa senang sekali. Ada kepuasan didalam batin melihat tulisannya banyak dibaca orang, seakan-akan mereka semua sedang mendengar curhatnya, hidup yang sedang sepi tak lagi merasa sendiri. Keterkaitan antara penulis dan pembaca ada didunia tersendiri yang tidak dimiliki orang lain.
Bukan sekedar kepuasan batin yang didapatkan, bagi penulis yang karya tulisnya di terbitkan akan mendapatkan honor sebagai upah jerih payahnya, yaitu berupa beberapa uang yang dikirimkan lewat kantor pos juga. Penerima kiriman akan mendapatkan secarik kertas yang dititipkan di balai desa, isinya sebuah berita untuk datang ke kantor pos guna mengambil kiriman uang dari sebuah media penerbit. Berapa honor yang diterima cukup buat uang jajan dan mengganti kertas ketik. Tetapi uang tidak dapat mengalahkan kepuasan batin yang didapat untuk semua itu. Itulah pengalaman menulis di jaman jadul.
Menulis Di Jaman Now
Sepertinya hobi, pekerjaan dan kegiatan dijaman apapun kalau ingin berhasil tetap saja harus dilakukan dengan serius dan kerja keras. Hanya saja, apa yang ada di jaman dulu (jadul) pasti sudah berbeda dibandingkan dengan jaman sekarang, itu pasti, karena manusia yang berakhal pikiran selalu berpikir untuk mencipta hal-hal baru hingga mampu merubah dunia, tujuannya adalah menciptakan alat untuk meringankan pekerjaan dari yang tidak mungkin dilakukan menjadi mungkin. Tidak hanya sekedar waktu yang berubah, tetapi juga teknologi.
Kembali kepada cerita menulis di jaman jadul yang dilakukan dengan mesin ketik manual yang terdengar lucu, kalau tidak dikatakan menyedihkan. Media baca yang paling gampang diakses terbatas hanya dari buku.
Bandingkan dengan jaman now, telah diciptakan komputer yang dapat digunakan untuk mengetik, kata yang salah ketik dihapus dalam satu klik, lembaran menjadi putih bersih kembali tak sedikitpun tertinggal noda, apalagi lecek.
Dijaman now ada internet. Sebuah media yang memungkinkan semua informasi ada dan dapat di akses kapanpun juga. Sebuah media yang juga memungkinkan kita memberikan informasi kepada orang lain, sekaligus jawaban, dimana hobi menulis disalurkan dengan mudah di jaman now.
Jika di jaman jadul kita menggantungkan sebuah media yang dikelola dari sebuah perusahaan untuk unek-unek/tulisan yang susah payah kita buat dapat dibagikan kepada orang, jika diterima, jika tidak, segudang informasi dan tulisan yang menarik dibuang kembali sia-sia di tong sampah.
Di jaman now, bahkan kita dapat membuat media sendiri dalam hitungan menit dan langsung dapat menerbitkannya. Karena semua fasilitas ada disana, di dalam internet yang sekarang ada dilayar komputer anda.
Penulis amatir dan bahkan menulis berdasarkan hanya sebuah hobi dapat mencurahkan hobi menulisnya dalam sebuah blog yang dibuat tidak lebih dari 5 menit dan langsung tersebar ke penjuru dunia. Kebaikan tulisan yang anda bagikan membuat banyak dibaca, blogpun menjadi ramai oleh pengunjung dan penghasilanpun dengan sendirinya akan mengikuti dari iklan perusahaan-perusahaan yang diiklankannya.
Dengan internet, hobi menulis dapat membuat buku tanpa harus terlebih dahulu menggalang kerja sama atau membuat percetakan buku untuk dapat menjual hasil bukunya tersebut, karena bentuk buku disini bukan tumpukan kertas, akan tetapi buku elektronik yang dapat dibaca tanpa mengurangi isi dari buku tersebut.
Cara menjual buku tidak harus dibawa dengan gerobak didorong ke sana ke mari. Cukup dengan duduk di depan komputer anda menjajaganya ke seluruh dunia, karena anda menjualnya dengan secara online.
Itulah yang tidak sama untuk hobi menulis di jaman jadul dengan hobi menulis di jaman now.