Kita sering mendengar nama Drona dan Sengkuni. Dua tokoh itu begitu dikenal karena karakternya yang khas. Ironisnya, khas dalam arti yang negatif, kharakternya yang negatif itulah membuat cerita menjadi tidak seru tanpa mereka.
Drona dan Sengkuni adalah merupakan dua tokoh dalam sebuah cerita. Yaitu sebuah karya sastra dari India yang sudah sangat terkenal, Mahabarata.
Di Indonesia, khususnya di Jawa, Drona dikenal dengan sapaan akrabnya, Eyang Panembahan Durna. Drona ada dalam cerita perwayangan Wayang Kulit, satu-satunya karya seni besar yang terkenal di Jawa.
Drona adalah seorang guru besar dengan segudang ilmu perang dan kesaktian yang tak tertandingkan. Oleh karena itu dia mendapat kepercayaan mengajar para pangeran-pangeran dari sebuah dinasti Kuru, sebuah kerajaan besar Astinapura yang terbelah menjadi dua keturunan yang terdiri dari anak-anak keturunan Raja Destarata yang disebut Bala Kurawa dan anak-anak keturunan Pangeran Pandu, adik raja Destarata sendiri, yang diberi nama Pandawa.
Kurawa dan Pandawa semua diajari oleh satu guru, yaitu Guru Drona, kedua kubu itu diajari oleh Drona dengan sepenuh hati dan merekapun sangat taat kepadanya.
Meski mereka dalam satu sekolah, bahkan hidup dalam satu istana, Astinapura, jurang pemisah antara kedua kubu itu tetap ada.
Di istana ada Sengkuni, kakak Gandari istri Prabu Destarasta yang tidak lebih ibu dari para Kurawa tersebut. Sengkuni merupakan orang yang cerdas dan licik.
Jurang pemisah bertambah dalam lagi ketika Sengkuni mempunyai rencana, dimulai dengan membujuk putra tertua dari Destarasta, Duryudana, yang juga keponakannya untuk menjadi putra mahkota dan duduk sebagai raja dan menyingkirkan anak-anak Pandawa. Akan tetapi dalam pemilihan putra mahkota yang terpilih justru Yudistira anak tertua dari Pandawa.
Berbagai tipu daya licik dilakukan oleh para kurawa. Semua tipu daya dan tak tik yang licik itu adalah hasil dari pemikiran Sengkuni sebagai otaknya.
Kerusuhan dan kekacauan istana dengan sengaja diciptakan untuk mengeruhkan suasana agar keputusan terpilihnya putra mahkota dibatalkan dan digantikan Duryudana yang sudah kalah dalam pemilihan.
Dalam kepemimpinan Yudistira, anak-anak pandawa berhasil membangun istana yang sangat indah yang diberi nama Indraprasta. Duryudana iri dengan kesuksesan itu. Otak Sengkuni yang berputar menemukan cara yang tidak pernah terpikirkan oleh para kurawa, sebuah cara yang aneh dan tidak lucu tapi begitu mengena. Barangkali dalam sejarah kerajaan tidak ada cara merampas kerajaan yang sekacau ini.
Dasar Sengkuni licik, Ia membujuk Bala Kurawa untuk menantang Pandawa, tetapi bukan menantang duel, karena dia tahu, kalau duel, kemenangan pasti akan jatuh dikubu Pandawa. Tantangan itu adalah main kucluk, di Banyumas dinamakan kipyik, yaitu menebak dadu yang terlebih dahulu dikocok dan kemudian dilempar.
Sebagai satria , Pandawa tidak akan lari dari tantangan, apapun bentuk tantangannya. Sebagai satria yang gagah perkasa, pemberani dan tidak terkalahkan, akan tetapi bukan untuk bermain dadu, karena Pandawa bukan tukang judi kipyik seperti Sengkuni, hingga Pandawapun kalah.
Istana Indraprasta yang indah telah dipertaruhkan dengan kekalahan, lebih parah lagi, istri Pangeran Pandawa sendiri tidak luput menjadi bahan taruhan. Tak perduli istri orang, seluruh Istana dan isinya dari Pandawa diambil oleh bala Kurawa hingga tak tersisa dan jatuhlah Pandawa dalam kemiskinan, mereka tidak lagi mempunyai apa-apa.
Kekalahan bermain judi dianggap sama layaknya kekalahan dalam perang, selain harta yang dirampas, para Pandawapun menjadi tawanan yang harus menerima hukuman dengan sesuka hati mereka. Mereka di buang di hutan dengan maksud agar tersesat dan tidak bisa pulang.
Melihat ketidak adilan, masuklah dalam kisah ini Krisna. Krisna adalah raja dari kerajaan Dwaraka, dalam perwayangan Jawa bernama, Dwarawati, yang terkenal dengan julukan, Gemah Ripah Lohjinawi Kertaraharja yang berarti, aman, tentram, adil dan makmur sentausa. Akan tetapi, hakekat sebenarnya dia adalah jelmaan dari Yang Maha Kuasa, yaitu Sang Wisnu. Dia datang dengan sebuah skenario demi tercapai sebuah keadilan didunia, memberantas angkaramurka dan ketidak sewenang-wenangan.
Skenario tersebut adalah mencari perhitungan antara kedua belah pihak dengan seadil-adilnya. Caranya adalah dengan mempertemukan mereka dalam sebuah pertempuran secara jantan dan kesatria.
Dengan wasit Sang Krisna sendiri, pertarungan tersebut terjadi antara Bala Kurawa Dan Pandawa, yang dikenal dengan nama Perang Bratayuda.
Sebagai guru dari kedua belah pihak, bagaimana dengan Guru Drona?
Sayang sekali sebagai seorang guru dari kedua belah pihak yang bertikai, semestinya dia tidak berpihak, tapi dasar Drona, meski semula sempat bimbang, akhirnya dia memutuskan untuk mendukung Kurawa, bagaimanapun Kurawa adalah putra penguasa saat itu yaitu, Destarasta yang lebih menyilaukan.
Kini Pandawa, anak-anak yang baik itu harus melawan gurunya sebagai tempat dia taat dan berbakti.
Di sisi lain, Sengkuni dan anak-anak Destarasta terutama Duryudana sangat kegirangan. Sumpah setiapun dilakukan kepada Drona, untuk berjanji memenangkan anak-anak Destarasta hingga titik darah penghabisan.
Melihat murid kesayangannya Arjuna, satu dari anggota Pandawa, Drona tidak dapat menahan tetes air matanya. Ia menyayanginya lebih dari anak sendiri, Aswatama. Dialah satu-satunya murid yang diberi senjata Brahmastra, senjata dewa yang tidak tertandingkan.
Iming-iming harta dan kemewahan melunturkan segalanya, bahkan harga dirinya sebagai seorang guru besar. Demi nafsu angkara murka Duryudana harus menang.
Kemenangan nyatanya sudah terlihat didepan mata, Duryudana tahu watak para Pandawa, sehebat apapun kepintaran ilmunya, mereka tidak akan tega membantai guru yang sangat dihormatinya di medan perang. Namun sebaliknya, dengan kasih sayang sumpah guru Drona akan melakukannya.
"Hahahahah......." Tawanya. Sengkuni ikut juga tertawa. " Kau akan menang, keponakanku." Kata Sengkuni.
Perang Bratayuda berlangsung. Perang saudara besar antara Pandawa dan Kurawa. Skenario yang sengaja dibuat dari Sang Kuasa lewat Basudewa Krisna.
Dalam mengawal perang suci tersebut, kekuatan Krisna dibagi dua. Pasukan Narayana, bala tentara milik Prabu Krisna diberikan kepada Kurawa. Basudewa Krisna seorang bergabung bersama Pandawa. Ini juga atas pilihan Duryudana yang serakah itu. Dengan pasukan Narayana ikut bergabung, lengkaplah kekuatan besar yang ia miliki.
Satu-satunya kesalahan Duryudana adalah lupa tentang siapa Krisna. Ia menilai bahwa Krisna seorang bersama Pandawa adalah bukanlah sesuatu yang begitu berarti. Pasukan Narayana yang gagah perkasa adalah jauh lebih menguntungkan dibanding dengan seorang Krisna.
Ditengah peperangan berlangsung, Krisna duduk satu kereta mendampingi Arjuna.
Guru Drona membawa sumpah setia untuk melindungi anak-anak Destarasta ke medan perang. Dengan garang menantang Pandawa anak didiknya sendiri.
"Siapa yang berani melawan aku, majulah Pandawa, aku akan menghabisimu, karena aku harus melindungi anak-anak Destarasta" Katanya.
Semua anak-anak Pandawa kebingungan, bagaimana mereka harus melawan gurunya. Basudewa Krisna berdiri seraya mengatakan kepada Arjuna," Arjuna, hanya kau yang bisa mengalahkan guru Drona, hari ini dia adalah musuhmu.Lakukan selesaikan perang ini" Katanya.
Arjuna masih terdiam dan masih tetap dalam kebingungan. Melihat Arjuna yang tidak mau melakukan sarannya, ia kemudian melakukan sesuatu, ditekuknya ibu jari dan dihubungkan dengan jari telunjuk sehingga membentuk sebuah lingkaran, kemudian ditunjukannya lingkaran itu kepada Arjuna.
"Hai, Arjuna, panahlah lubang jariku ini, cepat!"
Arjuna melakukan apa yang diperintahkan oleh Krisna. Dengan hati-hati Arjuna melesatkan anak panah dan dengan tepat mengenai sasaran. Anak panah menembus tepat diantara jari-jari Krisna.
Arjuna tidak tahu, bahwa anak panah yang melesat dari busurnya melalui lubang jari Krisna adalah arah dimana Guru Drona berada. Anak panah itu menuju tepat ke leher Drona dan Drona terjungkal seketika hingga menghembuskan napas yang terakhir.
Disisi lain, sibuknya perang yang sedang berkecamuk, membuat Sengkuni terpisah dari pasukan dimana tempat dia berlindung. Hal itu diketahui oleh Nakula dan Sadewa, dua anak kembar adik Arjuna dari Pandawa Lima mengejarnya dengan beringas.
"Sampai kapan kau akan mengejarku, keponakanku?" Katanya ketakutan, memohon untuk dibebaskan dengan memanggil keponakan, seperti ia memanggil keponakan kesayangannya Duryudana.
Nakula dan Sadewa tidak perduli dengan air mata buayanya, mereka tetap mengejar hingga Sengkuni kelelahan dan tidak kuat lagi berlari.
"Ini perang, paman, kau adalah musuhku?" kata Nakula. Satu bogem mentah melayang tepat ke kepala Sengkuni. Sengkuni meraung kesakitan. Belum reda rasa sakit dari pukulan Nakula, mendarat satu pukulan dari Sadewa. Begitu terus bergantian, hingga Sengkuni akhirnya terkapar dan tewas.
Tewasnya Drona dan Sengkuni perang terus berlangsung dengan kemenangan dari pihak Pandawa. Seratus anak-anak Destarata mati tak satupun tersisa.